BAB XXVII - Setelah Delapan Tahun

25K 3.4K 514
                                    

Keluarga Rendrawan sedang diberi setruman besar. Mereka terkejut sekaligus biasakan diri bersikap normal.

Mula-mula, Suci digiring ke ruang makan. Dengan senang hati wanita itu mencicipi suguhan khas hajatan di meja bundar. Sekeliling disulap bak penonton film thriller ketika dia bercerita lepas, lengkap dengan kelakar akrab nan hangat.

Akan tetapi, Rendrawan gelisah di kepala meja seiring terkaman keder istrinya di paha.

Ada apa? Suci di sini. Bertingkah menggemaskan setelah mndesak ayahnya berhenti kerja demi putuskan hubungan dengan keluarga yang dianggapnya laknat ini. Kemana rasa muak dan amarah anak itu? Sepasang mata itu seharusnya identik dengan titik api dendam. Bukan sorot jenaka.

Belum puas menggebuk jantung keluarga ini, Suci mencampak pertanyaan yang setara dengan cekikan ramai-ramai ke leher penghuni rumah, "Boleh kita tidur di kamar yang sama, layaknya keluarga? Aku. Kamu. Dan Marvel?"

Berkat permintaan itu, kini, mereka dalam perjalanan ke lantai dua. Adegan ini adalah potongan khayalan baik Dilan. Di mana Suci begitu dekat hingga harum kayu putih miliknya tercium. Tapi Dilan tahu diri, semeter adalah renggang tersopan. Bagaimanapun, wanita itu amat janggal untuk di-treat terlalu intim nan ekspresif.

Sesampainya di depan kamar, Suci mendesak pintu seolah bilik dosa yang andil garisi kenangan buruk itu adalah taman bermain. Inpeksi kecil dilakukan. Mulai dari closet sampai toiletries milik Dilan. Kamar ini berubah, gumam wanita itu, telusuri rak display merangkap partisi area tidur dan ruang kerja. Foto-foto semasa mereka pacaran terpampang di sana. Ada yang sudah dimanipulasi Photoshop, karena si kecil Marvel nyempil di antaranya.

Sudah jauh Suci menjelajah, Dilan tersangkut di ambang pintu. "Aku mau letakkan koper ini di sana," umum pria itu, gagap. "Tapi, pintunya akan tetap terbuka."

"Masuk dan tutup saja pintunya."

Pinta itu serendah bisik dan melilit perut Dilan. Dia belum tahu caranya menyikapi Suci yang ajaib, juga mengandung ambiguitas tinggi. Dalam waktu singkat-tanpa menimbulkan kesan ingin tinggal di kamar ini-koper itu dibawa pada pemiliknya.

"Kamu boleh bersih-bersih." Dilan berderap ke luar. "Aku akan minta bibi beresin barang kamu. Bila perlu, kosongkan barang-barangku, atau ... kamu, mau tidur di kamar lain?"

Cara Suci gantung jawaban sambil memindai adalah siksaan. Wanita itu serapi tatanan bidak catur. Namun, ada pergerakan penuh misi dan perhitungan apik setelah ini.

Memikirkannya saja rasa cemas menyelubungi Dilan.

"Aku mau di sini. Dengan kamu. Kita akan mulai sebagai suami-istri normal."

Dilan merenung muram. Tak sadar tangannya disentuh. Suci bilang, dia akan melakukan beberapa aktivitas pribadi. Sebaiknya pintu tidak dibiarkan ternganga. Lelaki itu minta diri dengan sopan. Gerakan undurnya dicegat. Dalam detik yang sama, di hadapan Dilan, Suci lepas kancing-kancing cardigan. Tanpa canggung, diloloskannya kaos dari kepala. Tinggalkan badan kurus polos terbekap bra hitam.

"Kamu takut?" tanya Suci, cekakak.

Dilan bergeleng gamam dalam tunduk. Dadanya mengimpit nyeri. Se-senti pun, wajahnya tak dibiarkan dongak. Suci melibatkannya dalam aktivitas pribadi sebagai permulaan figuri peran suami-istri. Dia pikir itu normal, tidak dengan Dilan. Selama perempuan itu beraksi telanjangi diri, pria itu pandangi marmer. Remasan kemeja di dua sisi tubuh tandakan inner-nya yang melolong terisak-isak.

Tak tahan, Dilan balik badan. Sudah cukup untuk ini.

"Takut adalah bagianku," seru Suci saat lelaki itu memutar kunci hendak tinggalkan kamar. "Kamu ... jangan coba-coba ambil bagian yang sudah aku geluti bertahun-tahun. Hidup enakmu, sayang, kalau dibikin nggak tenteram."

ImpromptuWhere stories live. Discover now