Bab XVI - Lamentasi II B

30.8K 4.2K 819
                                    

Post dulu abis baru edit. Abaikan typo.

...

Bulir hujan pagi itu masih mengeroyok bumi. Menciptakan suara berisik di luar. Angin bersilir-silir dari pintu samping yang menghubungkan dengan backyard, menyumbang dingin di ruang makan keluarga Rendrawan. Namun, suara rintihan Suci saat mengurai semua detail perkosaan yang dialaminya merangsang atmosfer ketegangan. Seperti tungku perapian yang mengeluarkan hawa panas, pengakuan Suci perlahan-lahan membakar keadaan.

Suci duduk agak menyerong, tidak mau melihat Dilan yang berdiri di anak tangga pertama tepat di belakangnya. Wajah laki-laki itu tampak pias. Napas-napas kasar yang terhembus berisik menandakan dirinya dalam keadaan tertekan.

Mendengar Suci bermonolog, lima pasang mata itu menyorot Dilan. Bisa Dilan endus, aroma emosi yang simpang siur di udara.

"Tolong laporin dia, Om Rendrawan," Suci menutup ceritanya dalam isak yang tak kunjung reda. Punggungnya bahkan terguncang hebat. Ditatapnya Rendrawan dan Raisa bergantian. Mengirim mohon. Menggantung harap besar pada sorot lukanya.

"Dilan," Rendrawan bicara. Ada getar yang menggiring suara pria itu karena gejolak emosi yang ditahannya. "Betul itu?"

Tertunduk, Dilan melirih, "Aku..." ia menarik napas. Pada akhirnya Dilan diam. Tak melanjutkan penjelasan. Kata-katanya ia simpan dalam jeruji lidah.

Tiga detik berselang, Rendrawan mendekati Dilan dengan langkah-langkah panjang. Laki-laki itu menampar keras wajah anaknya. "Bangsat kamu!" teriaknya.

Dilan bergeming. Pasrah dihisap masuk dalam arus emosi Rendrawan. Tak cukup sekali, papanya bahkan mengirim tinju beruntun hingga dia tersungkur ke tangga.

"Ya Allah, di mana otak kamu, Dilaaaan. Iblis apa yang masuk ke dalam di kamu? Astagfirullah..." Rendrawan mengurut dadanya. Melihat itu, Raisa sigap berdiri, memeluk suaminya.

"Dilan tahu Dilan Salah, Pap. Dilan maksa Suci. Tapi, Dilan ngelakuin itu karena Dilan sayang sama Suci. Dilan perlu menandai dia sebelum pergi. Dilan nggak bermaksud perko--"

"Anak saya masih SMA, Dilan!" Atmaja bersuara. Meski marah, laki-laki itu berusaha mengendalikan diri.

"Maafin Dilan, Pak Atmaja. Demi Allah Dilan akan tanggung jawab. Dilan janji!"

Suci menyumpal dua kupingnya dengan telapak. Tidak sudi mendengar penjesalan Dilan. Dia berteriak sedikit histeris, "Ayah laporin dia ke polisi, Yaaah. Masukin dia ke penjaraaaa," teriaknya.

Melihat Suci, bibir Raisa tergigit ketakutan. Dia mendekati Suci. Duduk di sebelah gadis itu. "Ci mau melapor?" tanyanya gusar.

Pertanyaannya dibalas anggukan tegas, Raisa lantas mengambil tangan Suci dan menggenggamnya erat. Meski mengutuk perbuatan Dilan, tapi wanita itu tidak berharap jika anaknya dihukum dengan cara dijebloskan ke penjara.

Bagaimanapun, Dilan bukan orang asing bagi Suci. Mereka pacaran dan sebulan ini menjalani hubungan layaknya pasangan kekasih yang jatuh cinta. Saling sayang. Kesalahan Dilan malam tadi, meski fatal, tetapi Raisa menilai sebagai bentuk khilav laki-laki yang terlalu dipengaruhi perasaan rindu terhadap kekasihnya. Kriminal berlandaskan cinta rasanya agak kerlaluan jika anaknya dihukum berat. Jika bisa berpikiran curang, Raisa merasa Dilan tak sepenuhnya bersalah.

"Tante tahu Suci marah. Tapi, Suci tolong pikir baik-baik. Kalian berhubungan dari awal. Saling sayang. Suci sendiri bilang kalau tadi malam Suci datang karena kangen sama Dilan. Kalian ngobrol, kalian pelukan, kalian ciuman," Raisa menyentuh pundak Suci, "Suci bahkan masih baik-baik ajah pagi ini, dan--"

ImpromptuWhere stories live. Discover now