Bab XXI - Fakta Itu...

28.7K 3.9K 416
                                    

Awan hitam yang bergumpal di sudut Barat, mulai memberikan tanda-tanda akan menangis.

Rizi tetap berdiri, mengawasi pagar besi sekitar delapan Meter darinya. Beberapa bulan lalu, dia pernah menurunkan Suci di sini. Pada malam di mana Suci lupa mengambil bayaran untuk order kue.

Rizi jelas kehabisan cara. Kendati begitu, rumah Suci kembali ia sambangi, betapa terkejutnya Rizi mendapati keadaan kosong melompong. Terlebih, satu papan pemberitahuan dengan tulisan besar 'Rumah ini dijual" terpampang jelas di sana.

Putus asa, kecewa, bercampur baur. Rizi rasa ia tak punya harapan sama sekali untuk memulai dengan Suci. Mungkin, dunia tidak sepakat, laki-laki dengan track record kotor sepertinya dekat dengan perempuan sebersih Suci Medina. Kenyataan itu sempat membuatnya mengebumikan perasaan. Menjalani rutinitas harian secara wajar.

Namun, siang tadi, saat menyicip sepotong Red Velvet pemberian salah satu teman kantor, Rizi teringat sesuatu. Tempo lalu, ia pernah mengorder cake pada Suci. Lalu, ngotot mengantarkan gadis itu pulang. Praktis, sebuah clue melintas di kepala. Yang otomatis membuatnya berada di sini. Berharap menemukan sesuatu sebagai titik terang.

Empat jam memantau tanpa hasil, hingga malam bertamu, azan isya mulai berkumandang, Rizi memutuskan untuk pulang. Hari ini tepat lima Minggu dia kehilangan kabar tentang Suci Medina. Dan... semua usahanya tak membuahkan hasil apa pun.

Nihil....

***

"Menurut aku, Suci harus dibawa ke psikiater."

Pernyataan Rama itu membuat Tiwi mendesah dalam-dalam. Hanya lirikan satu detik, Rama sudah bisa menangkap blitch emosi di mata istrinya.

"Sepupuku nggak gila, Rama!" Tiwi bangkit. Alih-alih kabur, satu hentakan keras Rama menjebloskannya kembali ke rerumputan.

"Duduk!" titah Rama. Menghadapi Tiwi sebulan ini, sisi jenaka lelaki itu terbang entah ke mana. Rama mengerti, Tiwi memusatkan seluruh daya untuk menjaga Suci. Tapi, implikasi dari rasa lelah menyihir istrinya seperti arus listrik: siap menyetrum kapan saja.

Tiwi lebih sering melampiaskan emosi. tidak bisa diajak bercanda. Humor apa pun yang dilempar Rama, berakhir dengan dampratan berbumbu amarah tebal.

"Aku nggak bilang Suci gila. Oke?" Rama menjaga agar suaranya tetap lembut, meneriaki perempuan pantang ia lakukan-meski sisi virilisnya mengkomando untuk berteriak. Siapa tahu kumparan kusut di pikiran istrinya kembali lurus.

"Psikisnya harus disembuhkan. Supaya kejadian kayak gini nggak perlu berulang kalau dia ketemu sama orang-orang yang ngingatin dia dengan masa lalu!"

Sebulan di sini, Suci seperti orang bisu. Kata yang diucapkan bisa dihitung dengan jari. Ia lebih banyak diam. Pasif. Menyepi di taman kecil rumah ini. Sesekali, ia akan menyiram deretan bunga Krisan di pot tanah liat milik Tiwi, lalu menghabiskan berjam-jam memandangi bunga itu. Tak jarang Rama dan Tiwi ikut terjaga hingga pagi, hanya untuk memastikan wanita itu tidak melakukan hal berbahaya.

Walau melihat Suci tenang jauh lebih baik daripada mendapati gadis itu berontak menyakiti diri, tapi bagi Rama keadaan itu bukan pertanda bahwa Suci sudah pulih. Mode bisunya sudah menjelaskan bahwa wanita itu benar-benar berada di bawah tekanan besar.

ImpromptuWhere stories live. Discover now