BAB XIV - Kali Ini... Syaratku Tidak Berlaku Untukmu!

42.8K 4.7K 863
                                    

Yes! Finally telah sampailah kita pada  bab paling buncit yah--bab terakhir dlm proses repost ini. Okay saya deg-degan krn stlh ini akan update chapter 'Lamentasi dua' yg msh fresh dari otak. Mungkin berisi jawaban untuk tanya-tanya kalian. Dan, kalau gaya tulisannya agak beda dikit, harap dimaklumi karena hampir lima bulan cerita ini terjeda. Jadi... selamat menuggu part baru :P

***

Ketika jatuh cintamu tak lagi memiliki syarat. Dan penjara bernama ekspektasi yang mengurung logikamu mendadak runtuh, gengsi yang selama ini mengatur-ngatur hatimu menolak untuk berperan dan membiarkan perasaanmu berhenti bertindak pilih kasih, maka ... kamu baru saja memerdekakan hatimu dari perbudakan selera.

Itu semua ... berlaku pada seorang Prasetya Alfarizzi.

Terhitung sejak dirinya mengungkap rasa pada Suci, pria itu bertitah, memaku sabda di hatinya bahwa ia akan berhenti menjadi laki-laki pemilih. Dan melepas semua daftar syarat atas jatuh cintanya.

Persetan dengan ekspektasi. Masa bodoh dengan kriteria. Rizi pasrah dituntun kata hati, menyerah pada insting yang mengarahkannya pada Suci, juga ... memanusiakan perasaannya sendiri.

Lelah rasanya membuat penyangkalan hati. Biarlah dia menikmati jatuh cintanya yang sederhana ini tanpa perlu mencari-cari alasan kenapa Suci? bagaimana bisa seorang Suci? mengapa harus Suci?

Sebab Rizi sadar bahwa tidak semua jatuh cinta butuh alasan bukan?

Maka pagi ini, secangkir kopi pahit, sepotong roti tawar dan seraut wajah bersimbah keringat menjadi sarapan terhebat Rizi selama 30 tahun hidupnya. Hampir satu jam ia duduk di kursi makan keluarga Atmaja dengan pandangan terus mengikuti kemana pun pergerakan Suci. Gadis itu tengah hectic dengan masakannya. Sesekali, dia menggerutu ketika percikan minyak panas mengenai tangannya yang sedang membalik daging ayam di wajan penggorengan.

Sudut bibir Rizi tergerak naik membentuk senyum tipis. Ada detak yang bernyanyi merdu ketika Suci berbalik dan memberikan kode padanya untuk menunggu. Gadis itu juga menyedekahkan satu senyum kecil kepada Rizi. Manis sekali.

Untuk kali ini ... Rizi berhenti mengumpati kerja jantungnya yang berdebar untuk Suci. Ia tidak menyangkal lagi, tidak menganggap jantungnya berkhianat. Rizi malah menikmatinya. Meresapi setiap detaknya yang berirama melafazkan nama Suci Medina.

***

"Eh." Suci tersentak ketika Rizi berdiri di sampingnya. Lelaki itu memperbaiki letak kerah blouse berleher lebar yang melorot ke pundak Suci hingga menampakan tali bra hitamnya. Spontan, Suci menepis tangan Rizi, gadis itu bergeser menjauh.

"Sorry," kata Rizi cepat. Ia mundur ketika melihat wajah Suci berubah awas. "Aku cuma... " tak mampu menjelaskan, Rizi menunjuk pundak Suci yang terbuka. "Baju kamu...."

"Eh, aduh m-maaf, Mas Izzi," kata Suci tidak enak. Lagi-lagi spontanitasnya menimbulkan masalah.Dilihat Suci, kemeja Rizi kotor terkena cipratan sambal dari batu ulekan yang dipegangnya. Belum lagi percikan-percikan kecil yang tersebar di sepanjang lengan pria itu.

Panik, Suci meletakan batu ulekan dan memperbaiki baju sekadarnya. Mata gadis itu mencari-cari kain apa pun yang bisa ia gunakan untuk membersihkan kemeja Rizi. Pilihannya jatuh pada baju kotor yang diletakan di tempat penggantungan, tidak jauh dari situ.

"Ga usah, Ci." Rizi menghalang tangan Suci yang tergerak naik menyentuh dadanya.

"Baju Mas Izzi kotor. Biar aku--"

ImpromptuWhere stories live. Discover now