Bab XVII - Puncak Intimasi

38.2K 4.7K 853
                                    

Cie ciee Remaja Mesjid ini lagi di acara Isra Mi'raj. Tapi, update karena notif wattpad sepi kek kuburan mantan 😩
btw, ini singkat. Gpp yah? Kalian kan udah biasa disingkati do'i 🙊 Bruakakak
Nih, buat yang kangen Mas Izzi. Dia emeshin deh di part ini, minta dibalurin dosa banget Masha Allah. Iman Adinda patah-patah 😥

...

...

...

Daun pintu dikuak Suci. Mengonfirmasi tamu siapa yang datang, tangannya serta merta terlepas dari pegangan pintu.

Senyap menggulung keadaan. Namun, dua pasang mata itu bertabrakan dan terikat pada satu titik temu. Berlomba saling bicara. Ada banyak makna di balik pijar mereka, berebut posisi untuk menyampaikan maksud.

Dilan. Laki-laki itu sampai harus berhenti bernapas. Memindai perubahan wajah Suci, detaknya menggila. Dilan tahu, Suci sempat kaget melihatnya. Wanita itu bahkan terkancing di tempatnya berdiri. Tetapi, Suci kembali datar. Sorot waspada yang terlepas dalam beberapa detik awal perjumpaan, melembut setelahnya.

Padahal, Dilan sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan paling buruk. Kalau-kalau Suci menyerang atau bahkan pingsan ketika melihatnya. Namun, respons Suci yang datar justru menyulap atmoser lebih mengintimidasi.

"Ciiiii," suara Dilan merintih. Lapisan rindu menumpuk. Tumpang tindih di udara. Mengantri untuk dilepas satu per satu kepada Puan pemiliknya; Suci Medina; perempuan yang hingga detik ini masih Dilan anggap sebagai istri sahnya.

Tujuh tahun.

Tujuh tahun menjeda. Menahan diri untuk tidak bertemu. Sengaja menuding waktu sebagai media untuk menggugurkan kelopak-kelopak benci di hati Suci. Barangkali memang cara Dilan memosisikan diri sebagai orang mati, bisa mencabut dendam wanitanya.

Dilan bahkan memuji pendirian Suci yang konsisten dengan keputusannya. Sempurna menghilang. Tidak tergoda dengan ingar bingar sosial media. Seolah tak cukup sampai di situ, semesta pun tak pernah sudi merancang sebuah kebetulan untuk mempertemukan mereka.

Saat kembali melihat raut wajah sederhana yang membuatnya hampir sekarat dianfal rindu bertahun-tahun ini, ingin sekali Dilan merengkuh Suci, membawa ke pelukannya. Sebab sebuah dekap erat rasanya cukup bisa meminimalisir rindu.

Tujuh tahun belakangan, jika rindu, Dilan cukup puas hanya dengan me-reply kembali rekaman memori. Meski tidak bertemu bertahun-tahun, tetapi, Dilan ingat dengan jelas sampai pada pahatan terdetailnya. Dilan masih mencium wanginya. Belum lupa rasanya. Semuanya sempurna dipetikemaskan di benak.

"Suciii...." Dilan mengiba. Dia bergerak maju. Alih-alih memeluk, di langkah pertama, Suci menyetop aksinya. Wanita itu membanting pintu hingga mengundang bunyi debaman keras. Kaca-kaca jendela bahkan ikut begetar.

Dilan tersentak. Serta merta laki-laki itu menghambur ke pintu, mendaratkan dahi di sana. Seperti pecundang, tangisnya meledak. Nama Suci tersendat-sendat di apitan bibir. Dilan mengiba. Meminta satu kesempatan untuk diijinkan bicara. Memohon untuk didengar. Bertatap muka lebih lama. Menyentuh walau sekadar salaman ringan. Ataupun juga meletakkan telapak di ubun-ubun Suci, melafaz doa-doa keberkahan; sesuatu yang tak pernah sempat dia lakukan saat resmi menjadi suami Suci.

"Ciiiii buka pintunya, Ciiiiiii."

Seperti anak kecil, laki-laki itu menangis merayakan penolakan Suci.

"Aku minta ampun, Ciiiiiii. Aku minta ampuun."

Untuk kali ini, Demi apa pun Dilan tidak mampu lagi disiksa rasa bersalah. Bertahun-tahun ia dihukum. Terkurung di balik jeruji penyesalan. Tidak bisa ke mana-mana. Terikat kuat pada perempuan ini.

ImpromptuWhere stories live. Discover now