Bab XI - Negosisasi

31.4K 4.1K 214
                                    

"Mas Izzi, please!"

Sekali lagi Suci memohon untuk dibawa pergi. Dia tidak bisa bergerak saat itu, ada rantai besi kasatmata yang mengancing kakinya terkunci dalam posisi itu.

Di sebelahnya, Rizi tidak paham dengan situasi. Mata laki-laki itu tergulir bergantian menatap Suci dan pria tua yang berdiri di antara Ridara dan Bima. Namun, ketika mengenali pria itu sebagai Rendrawan--teman ibunya--Rizi melempar senyum ramah menyambut. Ia mengabaikan Ridara dan Bima yang dahinya berlipat-lipat saat melihat Suci bergelayut di tangannya.

Di depan, sekitar tujuh meter dari mereka, Rendrawan terkesiap begitu mendapati Suci. Pria itu kelihatan bingung, menyapa Suci atau Rizi lebih dulu.

Suci menggeleng samar dengan tatapan memohon ketika Rizi bersikeras melangkah sementara tangan pria itu malah merangkul pinggangnya. Tubuh mereka rapat. Dalam sepersekian menit, keduanya terlibat aksi tarik menarik. Rizi yang bersikeras menggilir Suci dan sebaliknya Suci yang ingin kabur. Namun, rasa gugup jelas bisa melumpuhkan gerakan Suci. Wanita itu tidak berdaya oleh kekuatan Rizi yang mendominasi, ia malah terseret sampai ke depan kerumunan itu.


"Om Rendra," sapa Rizi. Mengulurkan tangan menjabat pria berjass hitam itu. "Apa kabar, Om?"

Rendrawan tidak dapat berkonsentrasi. Sapaan Rizi hanya samar-samar di pendengaran. Pria itu tersudut oleh sepasang mata Suci yang membidiknya tajam sampai-sampai ia mengabaikan rasa soal kedekatan Rizi dan Suci.

"Om baik, Pras." jawabnya setengah gugup.

Sejujurnya Rendrawan sudah memprediksi pertemuan ini sebelumnya ketika mendapati kiriman undangan dari ayah Suci. Lelaki itu memang sengaja menyempatkan diri datang. Selain menghormati Atmaja sebagai supir yang sudah lama mengabdi padanya, bertemu dengan Suci juga menjadi alasan lain Rendrawan.

Tetapi, Rendrawan tak menduga, kembali bertatap muka dengan perempuan yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri ini akan membuatnya gugup setengah mati. Kombinasi rasa bersalah dan kasihan memukul ulu hati pria itu.

Rendrawan bertanya dengan konsentrasi yang halai-balai, "Mama, Papa gimana, Pras?" pandangannya mengosong karena pikirannya saat ini terpusat pada Suci. Ekor matanya bahkan ikut mengawasi gerak-gerik Suci. "Sehat?"

Dengan wajah yang memerah karena menahan kesakitan akibat tancapan kuku Suci di lengannya, Rizi menjawab sopan, "Baik, Om." Pandangan pria itu mengedar. Mencari sosok istri Rendrawan di antara Ridara dan Bima. "Tante Yaya, gak dateng?"

"Nggak, Pras. Lagi gak enak badan."

Rizi mengangguk seraya membawa tangan Suci menjauh dari tangannya yang sudah dipenuhi bekas-bekas kuku.

"Suci apa kabar?"

Pertanyaan Rendrawan menyedot perhatian Ridara, Bima, tidak terkecuali Rizi. Laki-laki itu tidak menyangka Suci dan Rindrawan saling kenal.

Rendrawan meniti penampilan Suci dengan tatapan rindu. Layaknya seorang ayah yang bertahun-tahun tidak bertemu anaknya. Tubuh Suci tampak lebih kurus dari terakhir kali Rendrawan melihatnya, tujuh tahun lalu. Fakta itu membuat Rendrawan terinjak rasa iba. Rasanya sudah lama sekali tidak berinteraksi dengan Suci. Wanita itu tidak pernah sudi menginjakan kaki di kediamannya lagi.

Rizi menatap interaksi keduanya dengan satu alis terangkat. Terlebih-lebih saat melihat Suci yang tenang namun sinyal wajahnya mengirimkan ketidaksenangan yang kentara.

"Aneh yah? Kita tinggal sekota, Papa kamu juga setiap hari di rumah. Tapi, Om sudah lama gak ketemu Suci," pungkas Rendrawan hati-hati. Ia tahu Suci muak melihatnya saat ini. Namun, ia mencoba mencairkan keadaan. Siapa tahu waktu sudah bisa merubah kekerasan hati anak itu. Tidak berinteraksi sekian tahun lamanya mungkin juga bisa mengikis amarah terpendam di hati Suci.

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang