Bab IV - Pertemuan Kedua dan Debat Kecil

41.3K 4.5K 183
                                    

Tidak ada yang lebih indah dari pemandangan yang menyuguhkah raut wajah jatuh cinta, sorot mata bahagia, dan bibir yang tersenyum dari hati. Seperti sebuah paket komplit magic. Itu semua yang didapati Suci sore ini.

Di depannya, berdiri perempuan dengan postur berisi yang tengah sibuk mengatur piring ke atas meja makan. Suci memperhatikan perempuan itu lamat-lamat. Dalam diam Suci ikut-ikutan tersenyum--tertular aura ceria yang dipancarkan sepupunya itu.

"Aura calon pengantin emang ampun-ampunan yah, Mbak?" Suci menyenggol bahu Tiwi. "Pasti ngebayangin yang iya iya sama Mas Rama, kan?"

Yang disenggol hanya geleng-geleng kalem. Senyum tipisnya menyambut godaan Suci. "Enggak, Ci. Aduh kamu tuh ya." cubitan mendarat di pipi kurus Suci hingga meninggalkan jejak kemerahan.

Suci meringis. "Ih Mbak Tiw. Nyubit kok di jadiin hobi yah?" gadis itu mendesah pendek sambil terus mengelus pipinya yang perih, "kok mau yah Mas Rama sama Mbak Tiwi?"

Menanggapi ledekan, Tiwi tertawa geli. Sejujurnya pertanyaan-pertanyaan jenis ini sudah terlalu sering didapatnya sejak awal dirinya berhubungan dengan Rama.

Melihat Tiwi tertawa lepas, senyum Suci mengembang lebih lebar. Satu hal yang paling disukai dari sepupunya ini, sangat murah senyum dan mudah tertawa. Ibaratnya, kena angin saja tertawa. Dari kecil hingga dewasa Suci jarang melihat Tiwi marah. Dia jenis perempuan yang memiliki self control terbaik menurut Suci, yang bahkan masih bisa tersenyum dalam masalah besar juga bisa sabar saat marah. Sudah terbukti saat dia menjadi salah satu orang yang ikut 'menghidupkan' Suci saat gadis itu berada dalam masa-masa 'sekaratnya'.

Aura positif Tiwi seolah-olah menyuntikan ruh ke dalam jiwa Suci yang sempat mati suri. Tiwi selalu terlihat tenang. Tidak heran jika Suci merasa gadis itu memang pantas bersanding dengan Rama yang seperti kompor meleduk.

Jika kebanyakan orang menganggap Tiwi beruntung mendapatkan Rama yang gantengnya berlebihan, Suci malah berpendapat sebaliknya. Rama lah yang beruntung mendapatkan sepupunya itu.

Suci tau, perempuan-perempuan 'istimewa' seperti Tiwi ini hanya bisa terlihat dengan mata batin, dan Rama memiliki itu. dia melihat melalui mata batin dan memilih dengan kata hati. Itulah salah satu alasan kenapa Suci meletakan penghargaan tertinggi untuk Rama. Di saat semua laki-laki berlomba-lomba mencari berlian, Rama malah memilih batu akik musiman yang belum digosok.

"Oh ya, Ci. Mbak lupa..." suara Tiwi menyeret Suci dari khayalannya. "Mas Rama bilang gak sempat ambil pesanan Mama. Jadi kamu disuruh anterin ke kantor aja katanya."

Mata Suci terputar jengah. "Lagi-lagi!" runtuknya.

Tiwi tertawa. Jemarinya menyisir rambut Suci. "Maaf ya, Ci. Mas Rama lembur katanya. Atau mau Mbak temenin?" tawar wanita berlesung pipi itu.

Senyum Suci mengembang lebar. "Gak pa-pa lah, Mbak. Ci ambil sendiri nanti deh. Emm lumayan kan dapet tambahan uang taxi."

Kain yang digunakan Tiwi untuk mengeringkan piring melayang ke wajah Suci. "Dasar matre kamu nih!"

"Hahaaa realistis Mbak, bukan matre!"

***

Kaca besar pada bingkai jendela itu menyuguhkan pemandangan hidup yang bergerak. Jalan raya seolah tidak pernah bosan dilindasi kendaraan-kendaran berbagai jenis dan ukuran, juga manusia-manusia yang masih berjibaku dengan rutinitas. Padahal, sejak tiga jam yang lalu matahari sudah pulang ke pembaringan dan menggantikan langit malam yang berawan hitam.

Keadaan di lantai tiga gedung PT Bima Travel sendiri sudah cukup sepi, lampu ruangan dari domestic, inbound dan outbound division sudah dipadamkan oleh security. Hanya tersisa dua ruangan yang masih menyala yaitu pada bagian reservasi tiket dan ruangan divisi keuangan.

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang