Bab XVIII - Ini Proteksi. Bukan Posesif!

36.8K 4.4K 800
                                    

Sory ketekan tadi. Yang penting nggak salah tekan yang lain. wkwkwk
Tapi kalau ditekan, nggak nolak sih. Haha.
Selamat membaca!

.
.
.

Rizi bangkit susah payah. Semalaman, ia tidur di mobil yang terparkir di bahu jalan depan swalayan 24 jam. Setelah pulih, laki-laki itu melanglang sempoyongan ke swalayan; meminjam kamar mandi serta membeli sesuatu yang bisa ia jejalkan ke perut.

Ponsel Rizi menjerit tepat saat lelaki itu menghabiskan sebotol air mineral. Diliriknya nama Ridara muncul di sana. Agh perempuan itu, kapan dia akan mengerti kalau pernikahan bukan mainan? Rizi pikir, hanya karena mereka pernah merasakan sesi 'daging telan daging' bukan berarti Rizi harus menikahinya bukan?

Betul memang Rizi tak mempermasalahkan siapa Ridara. Terlepas dari selera tingginya, Bagi Rizi, semua perempuan layak dinikahi. Tak peduli sebanyak apa daftar kesalahan masa lalu mereka. Yang paling penting, mereka siap dan mau berubah.

Tetapi, untuk kasus Ridara, Rizi rasa tak mungkin membawa hubungan mereka sampai ke jenjang paling suci. Sebab Ridara tak benar-benar menginginkannya. Perempuan itu hanya sakau pada cumbuan Rizi yang barangkali sudah menjadi candu. Tidak ada hati yang dilibatkan.

"Dar, saya capek. Kita bicara nanti di kantor. Sekarang libur, jangan ganggu saya dan berhenti tuntut nikah!"

***

Menilik ke arah rumah berbatu bata merah itu, Rizi memasok boros oksigen ke paru.

Entah sudah berapa lama Rizi tak merasakan pulang yang sesungguhnya. Rumah ini menawarkan hal semu. Rizi tidak paham soal kenyamanan yang katanya selalu dihidangkan di rumah. Saat ia beranjak dewasa dan bisa memahami segalanya, dia mengerti bahwa rumah ini tak ubannya seperti box rekayasa. Saat ini, pulang baginya hanya tekanan-simbolik pertanda ia punya keluarga. Meski lagi-lagi hanya semu.

Rizi mengarungi langkah ke selasar. Ia berjumpa dengan Maya di sana, ibunya itu memegang watering can seraya meyirami tanaman hias. Wajah wanita itu tanpa warna; pucat kesi.

Sepuluh detik pertama, remai menyerang Rizi. Ia terkungkung oleh rasa ingin menangis. Dalam langkah lapang, lelaki itu mendekat, dipeluknya Maya dari belakang, memangkalkan dagu di atas pundak tangguh itu-pundak yang memikul banyak beban tapi tak pernah reyot, malah tegap berdiri menjelaskan ke dunia bahwa semuanya baik-baik saja.

"Berhenti, Bu," Rizi berbisik parau. "Izzi mau Ibu berhenti melibatkan diri." Lelaki itu mencium pelipis ibunya lama.

Semalaman merenung, Rizi digilir pada pemahaman bahwa perilaku ayahnya bukan penyakit yang bisa disembuhkan. Itu pola berkelanjutan. Terlepas dari sisi kontradiktifnya, Rizi mengerti, ia tak mungkin menyalahi orientasi seksual seseorang apalagi menarik mereka untuk mengikuti jalur yang menurutnya benar.

Ayahnya penyuka sesama jenis. Itu urusan individual. Sekalipun orientasinya tidak memenuhi standar nilai dan norma yang berlaku pada lingkup sosial, tapi Rizi rasa dia tak punya hak menyidang. Yang perlu dia lakukan adalah, melepaskan ibunya dari rasa tanggung jawab untuk melindungi. Sudah cukup ibunya menjadi tameng perilaku ayahnya selama ini.

"Mulai hari ini, Ibu nggak perlu lagi melindungi siapa pun. Yang perlu ibu lakukan adalah keluar dari pernikahan gila ini dan cari bahagia ibu sendiri."

ImpromptuWhere stories live. Discover now