Bab XXVIII - No Clue

39.4K 3.4K 858
                                    

"Zi. Kalkulator BMI Ibu mulai awas, nih. Kita ganti beras Konyaku aja apa, ya?"

Sebenarnya Maya hanya bermonolog. Sama sekali tak mengejar jawaban. Sementara anaknya berkemudi, perempuan itu pelajari kertas panjang cantuman list kebutuhan dari ART. "Kamu ada request menu? Biar ibu stok bahannya?"

"Hmm."

"Apa?"

"Hm?"

Kena cubit di paha, senyum darurat Rizi terbit. Berdalih sedang meramu menu enak di kepala.

"Bohong. Muka kamu capek banget, ih! Balik aja kalau mau istirahat. Ibu bisa sendiri." Sepulang kantor, Rizi memang tak sempat istirahat. Lihat ibunya sudah rapi, anak itu jasakan diri mengantar.

"Nggak apa, Bu."

Pasar tradisional malam dipilih untuk menjaring sayur-mayur murah dan daging segar. Sepanjang berburu, Maya berceloteh banyak hal. Rizzi sendiri begitu pendiam; ekori sambil bawakan tas rami. Di tempat selanjutnya, tugas Rizzi tak jauh-jauh dari mendorong troli penuh belanjaan. Bonusnya, dapat kuliah seputaran bumbu dapur. Bahwa kaldu jamur Totole, adalah pengganti MSG terbaik. Sementara daging ayam calon geprek akan lebih gurih jika dimarinasi dengan garlic powder. Bla. Bla.

"Besok ibu mau coba nasi Liwet teri pake Koyaku, aah!" info Maya, saat mereka dalam perjalanan pulang.

"Bu." Tiba-tiba Rizzi menyela, lirik sejenak demi pertimbangkan apakah bijaksana, lontarkan pertanyaan seputar hal genting? Rizzi meragu sekaligus sesali spontanitasnya. Sayang, ibunya terlanjur penasaran.

"Apa pendapat ibu tentang ... pernikahan yang terjadi karena perkosaan? Rumah tangga jenis itu, ada masa depannya? Berapa persen kemungkinan seorang korban bisa jatuh cinta pada pemerkosanya? Kalau memang tidak bisa, idealnya, laki-laki seperti apa yang paling dibutuhkan mereka, supaya lepas dari trauma, dan jatuh cinta lagi meski mereka bawa warisan masa lalu kurang menyenangkan? Semisal, ada pria baik-baik—maksud Izzi, pria sedikit nakal, dengan riwayat teman tidur sebuku album—tapi mencintai dia sepaket dengan cerita kurang menyenangkannya, kira-kir—"

"Cangkemmu, Zi," potong Maya, gregetan. "Perasaan waktu lahir, yang ayah azanin itu kupingmu, bukan mulut!"

Rizi memijit kening. Kuasai diri dari letupan. Dia akui, sedikit emosional hari ini. Rasio dalam dirinya menuntut dipuasi segera.

"Sebelum ibu jawab satu-satu, biar ibu tebak." Tatap Maya bukan cuma lekat, melainkan menganalisa. "Suci, kan? Perempuan yang bikin kamu memohon ke ibu untuk rendahkan suara, karena nggak mau ganggu nyenyaknya?"

Binggo! Rizzi kira, dia yang paling rapi menyimpan gerak-gerik. Ternyata, naluri ibu mengalahkan satelit.

"Benar, Bu. Anak ibu ... jatuh cinta. Dan kelimpungan secara bersamaan."

***

Pagi buta, Shabila berjumpa tangkapan baru di dapur: Suci berbalut celemek. Bau tumisan merebak. Dari wadah-wadah kaca, ada macaroni, daging ayam boneless dan bumbu kemasan.

"Hai," sapa perempuan itu, menyadari keberadaan Bila. "Aku bikin macaroni cheese. Mau bantu?"

Suci memang paling jago, bikin orang berkeringat tanpa workout. Sebutir peluh meluncur dari punggung Shabila. Wanita itu mengangguk setuju.

"Aku tadi rebus macaroni bareng ayam, biar kaldunya meresap." Sementara membedah Quick Melt Kraft jadi gerombolan dadu, Suci beri aba-aba agar cooking cream dan butter segera dituang. Dengan cermat, Shabila kerjakan. Sekaligus bumbui macaroni. "Kata Mbak, Marvel suka daging asap, makanya aku tambahin."

ImpromptuWhere stories live. Discover now