Bab XII - Sisi Lain

35.8K 4.2K 455
                                    

Intermezzo :

Kalian tahu? 60% konflik dalam cerita ini adalah kisah nyata. Kecuali konflik percintaan Ridara, Rizi, Suci, itu murni fiksi! Sedangkan tokoh Suci di dunia nyata adalah teman saya. Iyah, saya terinspirasi dari kisah dia.
Saya tidak mendramatisir bagian tarik menarik rambut di part kemarin hanya untuk mempengaruhi emosi kalian. No... Itu semua real! Dan terjadi di mata kepala saya waktu saya beberapa kali main ke rumah dia. FYI saja ibu tiri jenis ini bukan hanya ada dalam sinetron, di daerah saya masih berhamburan.

Abaikan typo yah. Nanti edit belakangan

***

Ruang tamu sederhana keluarga Atmaja mendadak disulap seperti ruang ujian. Tiga orang dewasa duduk berhadapan dalam mode bungkam. Rizi dan Atmaja menempati single sofa yang saling berhadapan. Sebuah meja persegi membatasi keduanya. Sementara Ayu, bersandar di sofa ganda seberangnya. Wanita itu melipat tungkai kaki dan bersedekap seraya melempari Rizi tatapan runcing penuh selidik.

Menolak dilahap keheningan lebih lama, Rizi mengangkat kepala, membaca sebentar sinyal yang terpancar dari wajah sepasang suami istri di depannya. Laki-laki itu berdehem untuk membersihkan kerongkongan yang entah kenapa rasanya seperti tersangkut sesuatu.

"Om, Tante." suara Rizi menumbuk kebekuan Atmosfer yang sedari 10 menit lalu menyarung ketiganya. Ia berucap pelan, "saya minta maaf karena harus berkenalan dengan cara seperti ini." lelaki itu menatap Ayu dan Atmaja bergantian. "Saya Rizi, teman kantornya Rama."

"Kamu yang tadi anterin Suci kan?" tanpa basa-basi Ayu memulai interogasinya.

Anggukan Rizi membuat Ayu memuntahkan lagi rentetan pertanyaan sindiran, "Ngapain ajah kalian semalaman? kenapa gak pulang sampai pagi? bermalam di mana?"

"Yu? " teegur Atmaja tidak suka. lelaki itu berpindah ke sofa yang diduduki Ayu. Ia menyentuh pundak istrinya, mencoba untuk menenangkan.

Rizi masih tenang dalam mode stabil. Komentar Ayu tidak merisaknya sama sekali. Ia sudah menerka akan seperti ini jadinya ketika dia menawarkan diri untuk mengambil peran sebagai 'pahlawan' Suci. Rizi tahu, konsekuensi dari tingkah lancangnya ini adalah: divonis bersalah, juga diberi kado manis berupa muntahan tuduhan versus sumpah serapah. Dan, tentu saja... lebel laki-laki cabul, kurang ajar, pemerkosa dan kroni-kroninya.

Iya, hanya orang tua sinting yang menyambut penuh suka cita dengan senyum plus pelukan hangat pada laki-laki yang mengantar pulang anak gadisnya setelah semalaman penuh membawa pergi tanpa kabar. Dan Rizi paham bagian itu dengan jelas walaupun secara teknis, ia tidak bisa dikatakan bersalah sepenuhnya.

"Saya minta maaf karena ajak Suci jalan tanpa minta ijin lebih dulu. Maaf juga sudah buat Om dan Tante khawatir, saya--"

"Kamu pacaran sama Suci? Atau kamu bayar dia berapa untuk temenin kamu?" lagi. Ayu mencuri kesempatan Rizi untuk menjelaskan. Pria itu hanya berkedip lambat menerima rongsokan tuduhan tanpa mau sedikit pun melakukan pembelaan. Dia membiarkan Ayu terus mencecarnya.

Bukannya Rizi sengaja membiarkan dirinya terus tersudut dalam kesalah- pahaman. Rizi hanya merasa percuma mencari pembenaran, karena posisinya saat ini tidak begitu membantunya. Membantah dianggap berkelit, meluruskan dianggap beralibi. Jadi, Rizi hanya perlu mengikuti arus dan menjelaskan apa adanya tanpa menambahkan ataupun mengurangi.

Lain Rizi, lain Suci. Di dalam kamarnya, Wanita itu melepaskan diri dari pelukan Enda. Ada kerutan samar yang sedari tadi tercetak diantara alisnya dan darah yang mendidih saat mendengar sindiran-sindiran Ayu.

ImpromptuWhere stories live. Discover now