satu

478K 37.4K 7.4K
                                    

"Oriana Suri Laksita?"

Suri menelan ludah ketika guru matematika itu menurunkan kacamatanya sedikit, lalu memandangnya dengan mata menyipit. Selama ini, Suri kira teman-temannya bercanda setiap kali dia mendengar mereka bergosip tentang guru matematika kelas dua belas yang galaknya tidak tara. Namun setelah berhadapan pada jarak super dekat seperti sekarang, Suri sadar jika dia akan lebih memilih dikepung sepasukan dementor daripada berbicara lima menit lebih lama lagi dengan guru ini.

"I-iya, Bu."

Kalau saja bukan karena kelakuan abang-abang brengseknya, mungkin Suri tidak akan harus terlibat situasi diantara hidup dan mati seperti sekarang.

"Kamu mau minta ulangan susulan?"

Suri menggigit bibir sebelum menjawab. "I-iya, Bu."

"Boleh saja," Suri bersumpah, guru itu punya senyum selicik Medusa. "Tapi kamu harus memberi alasan jelas pada saya kenapa kamu sampai tidak masuk sekolah kemarin. Saya perlu surat atau keterangan dari wali kamu. Setelah itu baru saya akan mempertimbangkan apa kamu layak atau tidak diberi kesempatan ulangan susulan."

Duh. Mati, deh. Suri meringis lagi.

"Memang nggak bisa ya, Bu, kalau saya ikut susulan dulu, baru keterangannya nyusul?"

"Menurut kamu?"

Oke, Suri menyerah. Gadis itu tersenyum pahit sebelum mengucapkan selamat siang dan terimakasih dengan nada yang dibikin sesopan mungkin, lantas melangkah menuju pintu sembari mengabaikan pandangan dari beberapa guru lain yang terarah padanya. Ruang guru selalu dingin karena pengatur suhu ruangan, tapi begitu berada di luar, tanpa sadar Suri langsung menghela napas lega. Mulai saat ini, Suri berikrar dia tidak akan mau lagi masuk ke ruang guru kecuali sangat, sangat, sangat super terpaksa.

"Gimana, Sur?" Suri langsung disambut oleh Siena yang sejak tadi menunggunya di depan pintu ruang guru. Siena adalah satu dari beberapa teman terdekat Suri di kelas—yang kebanyakan memiliki satu persamaan; mereka semua tidak takut hantu. Melihat raut wajah Suri yang semuram langit mendung, Siena langsung mengerti tanpa perlu menunggu jawaban. Gadis itu menepuk bahu Suri, berusaha menenangkan.

"Jangan sedih."

Suri menghentakkan kakinya. "Gue nggak sedih! Gue bete!"

"Bete?"

"Abang-abang gue emang bener-bener deh," Suri memberengut geram, disusul satu dengusan keras yang dia lepaskan. "Untung aja mereka cakep, karena kalau nggak, gue mungkin udah lama bikin deklarasi tidak lagi menganggap mereka sebagai abang!"

"Santai aja, Suri. Dunia nggak akan kiamat hanya karena satu ulangan matematika," Siena berkata lagi, kali ini sembari menatap Suri dengan pandangan penuh perhatian.

"Lo sih enak. Lo kan pinter? Lah, gue? Abang Chandra aja sering bilang kalau gue tulalit kelas berat."

"Enggak ada orang yang bodoh, yang ada itu orang yang malas belajar."

Suri paling sebal kalau sudah ada yang bicara seperti itu. Masalahnya, dia tidak pernah punya kesempatan belajar dengan tenang. Tidak di rumah, karena Wati yang hampir selalu cekikikan sepanjang waktu selalu berhasil membuatnya gagal berkonsentrasi. Tidak di sekolah, karena dari semua tempat yang pernah Suri kunjungi, sekolahnya mungkin adalah sarang hantu terbesar sedunia. Tidak di kafe, atau bahkan di mall. Kadang, Suri merasa kemampuannya melihat makhluk-makhluk ghaib adalah kutukan.

"Mau ke kantin?" Siena menawarkan, berharap mengajaknya makan semangkuk bakso bisa membuat mood Suri membaik.

"Enggak," Suri menggeleng cepat. "Gue mau ke kamar mandi aja."

NOIRWhere stories live. Discover now