dua puluh tiga

155K 16.7K 3.1K
                                    

Sebastian tidak pernah mengurusi orang sakit. Oke, ralat. Mungkin dia pernah mengurusi orang sakit, tetapi tidak pernah yang semerepotkan Suri. Mami tidak banyak berkata saat dia sakit. Perempuan itu hanya akan menghabiskan seharian bergelung di tempat tidur, dan bangun keesokan harinya dengan pipi yang telah lebih berseri. Sergio apalagi. Cowok itu paling anti membuat orang serumah khawatir, di luar dirinya yang termasuk tipe orang yang jarang sakit. Tidak jauh berbeda dengan Kat. Saat tidak enak badan, Kat akan mengunci diri di dalam kamarnya, dimana dia menghabiskan sehari penuh menyesal secangkir teh herbal sambil mendengarkan musik klasik tahun 1920-an.

Suri sangat rewel, mengingatkan Sebastian pada bayi yang kerap terkena demam setelah menerima suntikan imunisasi. Gadis itu menolak makan, juga menolak dipindahkan ke kamar tamu. Hampir sepagian, Suri berbaring pasrah di atas sofa dengan mata menatap langit-langit. Situasi diperparah dengan tidak adanya siapapun di rumah selain Sebastian.

Mami pergi menjemput Tante Aya, adik perempuan Papi yang sempat praktek sebagai dokter sebelum memilih fokus menjadi ibu rumah tangga. Suami Tante Aya tengah berada di luar kota. Mami tidak enak menyuruh Tante Aya datang ke rumah dengan taksi, jadi perempuan itu memutuskan menjemput adik iparnya. Sergio baru saja pergi ke luar rumah kurang dari sepuluh menit yang lalu. Katanya, dia mau membeli susu bubuk cokelat di minimarket karena persediaan susu bubuk mereka sudah habis.

Kalau boleh jujur, Suri tidak melakukan apapun selain berbaring dan menonton televisi dengan selimut terhampar di sekujur tubuhnya. Gadis itu juga tak bersuara, selain mengeluarkan hela napas yang teratur. Tetapi wajahnya begitu pucat. Lebih pucat dari kemarin, saat mereka baru turun dari roller coaster. Sebastian benci mengatakan ini, tapi dia merasa khawatir.

Itu wajar, kan? Bagaimanapun juga, Suri sudah membantu keluarganya. Dan Suri punya hubungan yang cukup akrab, baik dengan Mami maupun dengan Sergio.

"Suri,"

Mendengar namanya dipanggil Sebastian, Suri mengernyit, mendongak sedikit. "Kenapa? Kamu nggak suka nonton Boboi Boy? Mau diganti?"

Sebastian mendengus. Dia tidak peduli soal siaran apa yang mereka tonton. Kartun apapun itu, entah Boboi Boy, Upin-Ipin atau bahkan Power Rangers, Sebastian tidak peduli. Dia sudah terlalu dewasa untuk merasa jengah hanya karena film kartun konyol yang disetel berulang-ulang.

"Bukan."

"Terus kenapa? Tenang aja, rumah kamu udah nggak ada hantunya, kok. Yah, di pohon mangga ujung jalan sih masih banyak yang bersarang. Tapi mereka nggak akan berani sampai ke rumah kamu."

"Jangan ngomongin hantu!" Sebastian mendelik tegas, membuat Suri langsung nyengir.

"Sori-sori. Kelepasan. Aku lupa kalau kamu masih takut hantu."

Sebastian hampir membenturkan kepalanya ke tepi meja. "Gue nggak takut hantu. Tapi terserah lo mau ngomong apa."

"Bukannya tadi kamu yang mau ngomong?"

Oh iya. Ini anak benar juga.

"Kamu kurang fokus. Butuh akua, ya?"

"Bukan gitu." Sebastian berdecak. "Gue cuma mau nanya, kenapa lo nggak makan apa yang udah nyokap gue siapin dari tadi." Pada detik berikutnya, mata Sebastian jatuh ke sejumlah hidangan yang telah Maminya siapkan di atas meja berkaki rendah ruang keluarga. Ada nasi tim yang dicampur jagung manis dan suwiran ayam disana. Tidak lagi berasap. Sudah dingin karena dibiarkan begitu saja. Di sisi mangkuk nasi tim, ada segelas susu vanilla tanpa rasa, beberapa iris buah dan sebuah kantung plastik hitam berisi sejumlah obat-obatan yang dibawa ketiga kakak Suri dari rumah mereka.

NOIRWhere stories live. Discover now