delapan

220K 22.8K 2.7K
                                    

Saat mereka diizinkan meninggalkan kantor polisi setelah hasil tes urine menunjukkan mereka semua negatif menggunakan zat-zat terlarang, malam telah merambat menuju dinihari. Sergio telah duduk terkantuk-kantuk di ruang tunggu, sementara Suri sudah sepenuhnya tumbang. Dalam posisi duduk, gadis itu jatuh tertidur dengan bahu bersandar pada pundak Calvin. Jaket milik Cetta menyelimuti bagian atas tubuhnya, melindunginya dari udara dingin yang menusuk. Sebastian melirik sekilas, kemudian mengaduh pelan dalam hati. Sial. Dia harus bangun jam tujuh pagi besok, yang artinya kini dia punya waktu kurang dari tujuh jam untuk tidur.

"Budi udah nungguin di depan," Cetta yang baru saja menerima telepon dari temannya tiba-tiba berujar. Dia memang sengaja meminta tolong salah satu teman kuliahnya untuk menjemput di kantor polisi. Teman yang bisa dipercaya, tentu saja, karena Cetta tidak ingin ada gosip yang tidak-tidak menyebar, entah di dunia maya atau diantara teman-teman sekampusnya. Mereka memang tidak membawa kendaraan dari rumah karena menggunaan kendaraan milik kepolisian untuk sampai di kantor polisi. Sedangkan mencari taksi atau angkutan umum lainnya pada jam-jam seperti itu sama sulitnya dengan menemukan sebatang jarum dalam tumpukan jerami.

"Yaudah. Ayo pulang," ucap Calvin, sebelum dia menguap lebar-lebar sambil mengucek bola matanya, yang Cetta balas dengan anggukan.

"Nggak usah dibangunin," Chandra berkata begitu dia melihat Cetta mendekati kursi ruang tunggu dan berniat menepuk bahu Suri. "biar gue aja yang bawa," katanya, lalu dengan mudahnya cowok itu meraih tubuh Suri dalam gendongannya. Tanpa bicara apa-apa, Chandra langsung berlalu, diikuti oleh Cetta dan Calvin yang ikut beranjak dan mengekori langkahnya menuju mobil Budi yang telah menunggu.

Sebastian kontan langsung dibikin melotot. Soalnya, sama seperti Suri dan kakak-kakaknya, dia tidak diperkenankan menyetir sendiri ke kantor polisi. Mobilnya masih berada di depan rumah Suri sampai sekarang. Tidakkah mereka merasa punya tanggung jawab turut mengajaknya dan Sergio?

"Tunggu. Gue sama adik gue gimana?" Sebastian bertanya, membuat ketiga bersaudara itu langsung menghentikan langkah.

"Hm, lo bisa ikut mobilnya Budi, sih. Cuma ya itu, kayaknya lo harus pangku-pangkuan sama adik lo di kursi paling belakang."

"Kursi paling belakang?"

"Bukan kursi yang seperti lo bayangkan, sih," Cetta menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Tapi mungkin lebih kayak bagasi yang dikasih kursi kecil. Budi nyimpen dispenser di bagasinya, jadi cuma ada satu kursi kecil disana. Kalau kursi depan jelas bakal diisi gue. Kursi tengah udah penuh sama Suri, Chandra dan Calvin."

Sebastian mengatupkan mulut, menekan bibirnya ke dalam satu garis lurus. Matanya menatap pada jalan raya yang membentang di depan kantor polisi. Jalan itu sepi. Hanya ada satu-dua kendaraan yang berlalu-lalang. Semuanya kendaraan pribadi. Hari sudah larut, jelas sekali mayoritas angkutan umum sudah berhenti beroperasi. Taksi yang lewat bisa dihitung jari, dan semuanya sudah membawa penumpang. Kepala Sebastian terasa pening seketika.

"Budi nyimpen dispenser?" kening Calvin dibuat berkerut saat perhatiannya tersita pada sesuatu yang lain.

"Yoi. Dispenser rusak. Udah bocor. Berhubung kos-nya Budi nggak luas-luas amat, daripada makan tempat, dia simpan aja di bagasi mobilnya."

"Kenapa nggak dikilo aja di pasar loak sekalian?"

"Mana gue tahu, Vin. Tanya aja langsung sama Budi!" Cetta tampak dongkol.

"Alah, malah ngeributin dispenser!" Chandra memotong. "Buruan, deh. Dingin nih. Kasian Suri."

Seperti baru tersadar, Cetta dan Calvin langsung kembali bergerak. Sebastian sempat berpikir sejenak, namun dia sadar dia tidak punya pilihan lain. Sebastian tidak punya rekan sekantor yang cukup dekat untuk bisa dia mintai bantuan pada waktu semalam ini. Menelepon Papi-Mami adalah pilihan terakhir yang akan dia lakukan. Selain tidak berguna, itu hanya akan mengundang kepanikan yang tidak perlu.

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang