sembilan belas

237K 19.9K 1.8K
                                    

Saat Chandra dan Suri tiba di rumah menjelang pukul delapan malam, Cetta dan Calvin sudah menunggu di pintu depan serupa orang tua yang siap memarahi anak gadisnya karena pulang terlalu larut. Pada situasi biasa, Suri tentu akan dibuat khawatir setengah mati. Tapi tidak sekarang. Kalau boleh jujur, dia adalah pihak yang dirugikan. Bagaimana tidak? Mereka—makudnya, Suri, Siena dan Chandra—menghabiskan hampir sepanjang sore hingga malam berputar-putar di mall hanya demi agenda tebar pesona Chandra pada Siena. Suri muak menjadi obat nyamuk diantara sepasang sejoli yang kini tidak ragu-ragu lagi menunjukkan kalau mereka saling suka. Namun dia bersabar, karena ada ide cemerlang yang mendadak mendarat di otaknya setelah kegiatan jalan-jalan tidak terduga hari ini.

"Chan," Cetta mengawali, berkacak pinggang di pintu. "Lo tau jam berapa sekarang?"

"Apa, sih? Lagak lo kayak Ayah aja." Chandra mendengus.

"Kalau Ayah ada di rumah, dia pasti kecewa. Ini bukan weekend. Suri perlu belajar karena dia udah kelas tiga. Kenapa malah lo ajak ngalor-ngidul nggak karuan?" Cetta bertanya lagi, masih dengan nada menohok. Lantas matanya melembut saat dia beralih pada Suri. "Kamu nggak diajak ama si belangsak ini ke klab malam kan, Suri?"

"Ya ampun, demi Tuhan gue nggak sebejat itu, Tri!" Chandra berseru jengkel. "Gue cuma ngajak Suri jalan-jalan ke mall. Kakaknya bukan cuma lo, atau Malika, ngerti? Gue juga kakaknya."

"Duh." Suri mendengus. "Ributnya bisa dipersingkat nggak? Atau di-skip aja gitu sekalian? Aku perlu ngomong sesuatu sama Abang Chandra."

Ekspresi jengah Chandra berubah penasaran. "Ama abang?" ujarnya, menunjuk dirinya sendiri dengan jari.

Suri mengangguk. "Soal Siena."

"Jangan bilang—" Mata Cetta melotot hingga ke bukaan maksimal, menatap dengan murka yang kentara pada kakak sulungnya. "—jangan bilang kalau Suri pulang telat karena modus lo mau ngedeketin temannya?! Gila ya, lo emang beneran sampah masyarakat, Barachandra Aryasetiati!"

"Yang bener Aryasatya, Tri."

"Vin," Cetta beralih pada Calvin sembari menggulung lengan bajunya hingga siku. "enaknya ini anak kita apain? Kurung kamar mandi semalaman aja kali, ya?"

"Eh, ler, gue kakak lo!" Chandra mendesis, meski ada kepanikan yang membayang dalam suaranya. Bagaimanapun juga, meskipun dia adalah anak tertua, kekuatannya tentu tidak sebanding jika harus melawan dua laki-laki dewasa seperti Cetta dan Calvin. Mereka bisa saja mengikat tangannya ke belakang, menutup mulutnya dengan lakban lalu benar-benar mengurungnya di kamar mandi semalaman. Atau lebih buruk dari itu, mengingat Ayah masih tidak akan pulang hingga minggu depan—karena agenda panen kebun kelapa sawit di daerah selatan Sumatera. Tidak, terimakasih. Membayangkan harus seruangan bersama sejumlah kecoak dan sikat toilet saja mampu membuatnya bergidik.

Spontan, Suri langsung pasang badan di depan Chandra. Tindakannya terkesan amat heroik nan dramatis. Sebagai respon, Chandra langsung memandang adik bungsunya dengan mata berkaca-kaca.

"Abang, abang boleh ngapa-ngapainin Abang Chandra, tapi nanti setelah aku selesai ngomong sama dia."

Pandangan terharu Chandra berubah jadi rengutan kecewa. "Suri, maksud kamu apa?"

Suri berbalik, lantas menarik tangan Chandra masuk ke rumah. Cetta dan Calvin mengikuti sejenak setelahnya. "Kita harus ngomong."

"Ngomongin apa?"

"Siena. Dia penting kan buat abang?"

Chandra cengengesan. "Hng... iya, sih. Tapi sumpah, masih pentingan Culi tersayang kok."

"Halah, mana percaya aku sama omongan lelaki buaya kayak abang," Suri mendengus, lalu berpaling pada kedua kakaknya yang berada di belakang mereka. "Aku mau ngomong empat mata sama Abang Chandra. Oh ya, habis itu juga aku perlu ngomong sama Abang Calvin. Jadi Abang Calvin jangan tidur duluan, oke?"

NOIRWhere stories live. Discover now