empat belas

199K 19.8K 3.7K
                                    

"Gue mau kasih tau sesuatu sama lo sebelum kita turun," Suri berujar sesaat setelah mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam garasi rumahnya. Gaya bicaranya terkesan misterius, membuat Siena yang duduk di sebelahnya terkesiap. Reaksi tidak jauh berbeda juga ditunjukkan Cetta—yang siang ini menjemput Suri dan Siena di sekolah seperti biasa, karena Chandra adalah anak raja yang haram hukumnya disuruh-suruh, sementara Calvin sudah mengambil tanggung jawab menyediakan makanan kecil untuk kerja kelompok Suri dan Siena. Cowok itu menatap pada adik perempuannya lewat kaca spion dalam, yang dibalas Suri dengan picingan mata.

"Abang turun duluan aja," katanya, membuat Cetta sempat terperangah sesaat.

"Emang kamu mau ngomongin apa sama Siena?"

"Rahasia. Cuma perempuan yang boleh tahu."

Mata Cetta memicing curiga. "Masalah pacar-pacaran, ya?"

"Abangku sayang, kalau aku mau diskusi masalah gaet-menggaet hati Sebastian Dawala, mending sekalian aja aku curhat sama Kak Rana," Suri mendengus, "Siena tuh sama nggak berpengalamannya sama aku. Segel jomblonya belum dilepas sama sekali."

Siena memberengut kesal pada Suri.

"Bagus, dong. Anak-anak kecil kayak kalian tuh emang harusnya fokus belajar, nggak usah deh pake pacar-pacaran dulu. Apalagi lihat gaya pacaran anak sekarang. Bikin ngeri."

"Abang tuh nggak pernah mengerti perasaan kawula muda. Kalau abang ngeri sama gaya pacaran anak sekarang, jadi menurut abang gaya pacaran yang normal tuh kayak gimana? Gaya pacaran abang sama Kak Rana? Dih." Suri mendesis.

"Suri, abang belum tua-tua banget. Abang cuma beda dua tahun sama kamu, kalau abang harus ingetin."

"Kalau gitu abang harusnya nggak ngelarang aku pacaran karena kita cuma beda dua tahun! Abang sendiri waktu pertama pacaran sama Kak Rana juga masih seumur aku!"

"Abang udah sembilan belas tahun waktu itu."

"Yaelah, bang, beda setahun doang!"

"Abang tuh cowok."

"Dunia juga tahu abang cowok."

Siena mengunci mulut, memilih diam diantara perang saudara yang tengah berkecamuk.

"Maksud abang, karena abang cowok, abang bisa jaga diri abang. Beda sama kamu. Abang-abang ngelarang kamu pacaran ya karena kita punya tanggung jawab ngejagain kamu. Terutama setelah Bunda nggak ada dan Ayah sibuk ngurus kerjaan."

"Abang sih bukan menjaga, tapi me-nge-kang."

"Suri,"

"Udah, ah. Aku lagi malas debat. Abang masuk ke dalam duluan aja. Dan tenang, aku nggak lagi berniat ngomongin Sebastian sama Siena. Bisa gawat nanti kalau Siena sampai naksir sama Sebastian. Malas deh saingan sama teman sendiri."

Cetta menghela napas. Dia menatap Suri sejenak, tapi tidak mengatakan apapun lagi. Cowok itu menuruti kehendak Suri, langsung turun dari mobil tanpa mencabut kunci, walau mesinnya sudah dimatikan.

"Nanti jangan lupa kunci mobilnya dibawa masuk."

Suri hanya mengacungkan jempol tangan kanannya, dan Cetta pun berlalu masuk ke dalam rumah lewat pintu yang tersambung dengan garasi.

"Sebenarnya lo mau ngomong apa, Sur?"

"Soal hantu di kamar gue."

"Oh. Hantu yang namanya Wati itu?"

"Bukan. Kalau Wati mah kan lo udah kenal. Semalam, rumah gue dikunjungi pendatang baru."

"Hantu... baru?"

NOIRWhere stories live. Discover now