dua puluh

169K 18.1K 2.8K
                                    

Dua hari kemudian.

"Lo mau langsung balik? Tumben nggak betah di kampus. Kenapa? Baru sadar kalau selama ini lo jadi kuli departemen dan udah kepingin buru-buru keluar?"

Spontan, Calvin mendengus kala mendengar ucapan Saga, salah satu teman kuliahnya sesaat setelah dia keluar dari ruangan dosen pembimbing dengan draft Tugas Akhir siap revisi di tangan. Yah, biasanya Calvin tidak akan langsung pulang. Sebagai mantan ketua himpunan sekaligus salah satu organisatoris paling aktif di departemennya, Calvin punya banyak kenalan dan teman-teman untuk diajak kumpul-kumpul bareng sebelum dia selesai menyusun Tugas Akhir dan memperoleh gelar sarjana—yang berarti ucapan selamat tinggal pada kampus dan statusnya sebagai mahasiswa untuk kemudian memasuki realita yang sesungguhnya. Tapi hari ini, Calvin harus buru-buru pergi ke gelanggang olahraga. Tujuannya tidak lain adalah tidak bukan menjaga Khansa Amarissa dari segala macam marabahaya. Sejujurnya, Calvin sendiri tidak mengerti apa maksud kata-kata Suri. Tetapi kelihatannya, adik perempuannya itu sangat serius dengan apa yang dia ucapkan.

"Gue ada perlu."

"Soal gebetan, ya?" Saga menukas jahil sambil mengiringi langkah Calvin ke area parkir. Hari ini, Cetta berbaik hati mengalah dengan membiarkan Calvin membawa mobil ke kampus. Di rumah mereka hanya ada dua mobil, satu milik Ayah—yang setia dipakai Cetta mengantar-jemput Suri—dan satu lagi milik Chandra. Buat mereka, haram hukumnya menggunakan mobil Chandra kecuali sedang kepepet, karena hanya Tuhan yang tahu peristiwa bangsat macam apa yang pernah terjadi di mobil itu.

"Kenapa lo berkesimpulan seperti itu?"

"Karena nggak ada yang lebih penting bagi seorang Calvin Raskara, mahasiswa berprestasi kita daripada kampus selain adik perempuan tercinta dan... pujaan hati."

"Najis. Bahasa lo Bombay banget."

"Tapi bener kan tebakan gue?"

"Salah." Calvin berujar. "Gue ada perlu sama seseorang."

"Cewek apa cowok?" Saga masih saja meneruskan ledekannya.

"Bencong."

"Jam segini mah bences belum pada keluar, Vin."

"Terserah lo deh," Calvin menyentakkan kepala sambil menarik keluar kunci mobil dari saku celananya. Cowok itu menekan satu tombol, memastikan pintu mobil tidak lagi terkunci sebelum meraih kenop pintunya.

"Buru-buru banget nih, Pak Haji?"

"Sori, Ga. Tapi sumpah gue ada urusan penting dan itu nggak ada hubungannya sama dunia pergebetan-an seperti yang lo maksud. See you, kay?" Calvin masuk ke mobil, menghidupkan mesin dan melambai sekilas pada Saga lewat kaca yang sudah diturunkan.

"Belanda masih jauh, Vin."

"Tapi Izrail bisa aja udah dekat, Ga." Calvin menyahut setengah geli, lantas tersenyum sekali lagi pada Saga sebelum menaikkan kembali kaca mobilnya. Cowok itu menekan klakson, mengemudikan mobil keluar dari lot parkir dengan kelihaian yang sempurna, membuat siapapun tidak akan menyangka jika cowok itu lebih banyak naik kendaraan umum dan duduk di passenger seats tiap kali acara bermobil bersama keluarga maupun teman-temannya. Udara panas, dan decit bannya meninggalkan debu-debu beterbangan buat Saga.

Saga mendengus, menatap pada plat nomor mobil Calvin yang kian mengecil seiring dengan melajunya mobil tersebut meninggalkan pelataran parkir gedung departemen teknik arsitektur.

"Tuh anak kadang suka nggak pake Bismillah kalau ngomong," Saga geleng-geleng kepala. "siapa yang berani ngejadiin Izrail sebagai candaan? Dasar pea. Mati aja lo baru tau rasa." Dengusnya, meski diam-diam ada harap dalam hatinya bahwa itu bukan pertanda akan terjadi sesuatu yang buruk dengan sahabatnya.

NOIRWhere stories live. Discover now