tiga puluh satu

146K 18K 3.8K
                                    

Siang itu, sesuai dengan pembagian tugas yang telah dilakukan oleh Chandra, Cetta dan Rana yang menjemput Suri di sekolah. Setelah bel pulang berbunyi, dengan cepat layaknya bodyguard, Siena mengawal Suri melintasi koridor. Wajah gadis itu penuh siaga, membuat Suri merasa jengah karena segalanya tampak berlebihan. Tetapi, dia tau tidak seharusnya dia protes. Mereka semua melakukan itu karena peduli dengannya.

Halaman sekolah mulai padat oleh rombongan siswa yang sudah meninggalkan kelas-kelas mereka. Sejenak, mata Suri dan Siena bergerak menyapu seisi halaman sebelum akhirnya berhenti pada sosok-sosok familiar yang berdiri di sisi mobil Cetta. Ada Rana disana, juga seseorang yang tidak Suri tebak. Orang itu adalah Sergio.

"Suri!" Cetta berseru di kejauhan, membuat perhatian dari beberapa warga sekolah, khususnya para siswi langsung tertuju padanya. Sontak mereka dibuat tercekat di tempat seketika. Penyebabnya tentu mudah diduga, karena paras Cetta yang jauh lebih kinclong daripada aktor-aktor blasteran yang kerap berseliweran di layar kaca—apalagi, kini di sisinya ada Sergio yang terlihat seperti tipikal kakak OSIS idaman dalam cerita-cerita remaja.

"Abang gue udah ngejemput. Lo ke mobil lo aja nggak apa-apa."

"Enggak bisa gitu." Siena menggeleng tegas. "Gue harus memastikan lo tiba dengan selamat di dekat mobil alias melimpahkan tugas melindungi lo secara resmi ke Kak Cetta dan Kak Rana."

"Lo lebay banget. Lo ngelakuin ini demi gue apa demi Abang Chandra sih sebenarnya?"

Siena nyengir. "Dua-duanya. Udahlah, yuk, udah nungguin tuh mereka," ujarnya seraya menarik Suri mendekat menuju mobil. Rana ikut melambai sementara Suri berjalan, sementara Sergio cengar-cengir tidak jelas. Lantas tiba-tiba, cowok itu melemparkan sesuatu pada Suri yang kontan membuat mata Siena membulat.

"Suri! Merunduk!" suara seruannya sangat keras, diiringi oleh gerakan melindungi Suri yang menarik perhatian. Dalam hitungan detik, gerak lalu-lalang siswa di halaman langsung terhenti. Mata mereka menatap heran pada Suri juga Siena, serta Cetta, Rana dan Sergio yang kini berdiri dalam posisi canggung.

"Hng," Sergio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Itu cuma kulit kuaci, kok. Santai aja. Hehehe."

Suri menghela napas panjang, menahan diri kuat-kuat supaya tidak menepak Siena tepat di kepala. "Siena! Jangan lebay gini, dong!"

"Abis tuh bocah bikin kaget aja," Siena cemberut. "Kalau dia ngelempar bom atau batu, terus lo gegar otak terus mati gimana? Atau siapa tau aja lo bisa mati karena kejatuhan kulit kuaci? Kan pernah ada tuh berita orang yang mati karena keselek batang kangkung."

Suri menghentakkan kakinya dengan gemas. "Engga elit banget, deh. Gue nggak bakal mati cuma karena kulit kuaci. Dan lo, Gio, tumben banget lo ikut ngejemput gue? Enggak kuliah? Tolong jangan bilang kalau diam-diam lo naksir dan peduli sama gue. Bisa berabe gue kalau dipaksa milih antara lo dan kakak lo. Meskipun masih lebih ganteng kakak lo sedikit."

"Jangan ge-er." Sergio mendengus. "Gue nggak naksir sama lo, tapi jelas gue peduli."

"Karena gue cantik?"

"Semerdeka lo aja deh mau bilang apa. Gue sendiri melakukan ini karena ngerasa hutang-budi setelah apa yang lo lakukan buat Kesha. Juga buat mendiang kakak perempuan gue yang sempat gentayangan bertahun-tahun. Terus nurutin maunya Mami juga, karena kalau nolak gue takut dikutuk jadi ikan pari. Makanya abis kelas tadi pagi, gue inisiatif ngehubungi kakak lo."

"Oh, Abang Cetta udah damai ama Gio?"

"Ini bocah termos kayaknya nggak belangsak macam abangnya." Cetta bereaksi.

"Jelasnya masih lebih belangsak Abang Chandra." Suri mencibir. "Terus abis ini lo mau ngapain?"

"Mau ikut ke rumah lo. Mau ngomongin sesuatu. Hm, lebih tepatnya sih kayaknya menyampaikan pesan dari Mami."

NOIRWhere stories live. Discover now