tiga puluh tiga

151K 17.7K 5.9K
                                    

Suri baru bangun menjelang pukul delapan pagi karena harum masakan dari dapur yang terasa menggelitik indra penciumannya. Dia tidak khawatir akan terlambat ke sekolah, karena hari ini tanggal merah. Setelah melakukan sejumlah gerakan peregangan ringan, gadis itu beranjak turun dari kasur. Lantai dingin yang menyentuh telapak kakinya sempat membuat Suri bereaksi seperti baru kena api. Di luar, langit mendung, kentara akan berakhir dengan hujan.

"Pagi, cewek body goals."

Sebuah sapa langsung menyambut Suri ketika dia membuka pintu. Sergio ada disana, masih mengenakan celana panjang dan kaus oblong warna abu-abu yang sudah sering dicuci. Tampaknya itu kaus oblong kesayangan. Di sisinya, Wati melayang—hantu di rumahnya memang turut bermigrasi sejenak ke rumah Keluarga Dawala. Kata Wati, itu karena mereka sudah berjanji akan melindungi Suri hingga titik darah penghabisan. Meski konsekuensinya, Wati dan Mpok Jessica berduka karena harus terpisah dari Cetta.

"Gila!" Wati berseru kegirangan sambil mengibaskan rambutnya. "Sergio pas lagi bobo cute banget. Cuma pas bangun aja jadi agak-agak belok karena tingkah lakunya. Huhu, senangnya. Untung ada Gio, kalau nggak pasti saya udah nelangsa harus ldr-an sama my baby Cetta."

Suri mendelik, lantas berpaling pada Sergio. "Pagi, makhluk ganteng yang hampir jadi pasangan sehidup-sematiku."

Sergio menarik senyum kepalang lebar sebelum melepasnya hingga ekspresi wajahnya berubah datar. "Lo kelihatan baik-baik aja."

"Kenapa? Cantik terus ya? Woyajelas, bukan Oriana Suri Laksita namanya kalau nggak badai setiap waktu." Suri langsung menggerakkan rambutnya sedemikian rupa layaknya bintang iklan shampoo. "Gue ama Emma Watson tuh emang beda tipis."

"Sama-sama punya jempol kaki?" Sergio memasang ekspresi mengejek.

"Sama-sama tetap cetar walau baru bangun tidur."

"Halah."

"Tadi kan lo sendiri yang bilang kalau gue cewek body goals."

"Mending lo mandi dulu, deh. Mami lagi masak buat sarapan. Biasanya jam enam pagi dia udah masak, tapi karena lo nggak menunjukkan tanda-tanda bakal bangun sekitar jam enam sampai jam tujuh, Mami akhirnya baru masak jam delapanan. Katanya dia nggak mau makanannya keburu dingin sebelum lo sarapan," Gio mendengus. "Kadang kalau gini gue lupa, anak Mami tuh gue sama Kak Bas atau lo."

"Jangan dipanggil Bas, dong. Jelek. Panggil Tian aja, oke?"

"Lah, mulut-mulut gue. suka-suka gue dong?"

"Enggak bisa gitu, Sergio Termos. Gimanapun juga lo harus dengerin gue," Suri memajang wajah sok penuh wibawa. "Karena di masa depan, gue akan jadi kakak ipar lo. Mulai sekarang, coba biasain panggil gue kakak. Oke?"

Sergio sudah siap menjawab balik ucapan Suri dengan ragam kalimat ejekan yang dia punya ketika suara deheman di belakang punggungnya membuat kepala Suri dan Sergio tertoleh bersamaan pada arah yang sama. Sebastian ada disana. Cowok itu terlihat sudah mandi, karena rambutnya yang lembab dan masih menyisakan jejak habis dilewati sisir. Kulitnya terlihat jauh lebih pucat, tapi wajahnya tampak segar.

"Gio, lo dipanggil Mami."

"Oh ya?"

"Iya. Buruan sana ke dapur."

"Oke." Sergio menjawab singkat dan berlalu begitu saja ke dapur, meninggalkan Suri dan Sebastian di ruang tengah. Suri terpaku di tempatnya berdiri. Wajahnya memerah seketika kala dia mengingat insiden memalukan yang sempat terjadi kemarin. Begitupun Sebastian. Walau berjalan mendekat, cowok itu juga terlihat salah tingkah.

"Soal yang kemarin," Sebastian memulai ragu-ragu. "Gue mau—"

"Lupain aja."

Sebastian menarik napas. "Tapi gue nggak bisa lupa."

NOIRWhere stories live. Discover now