enam

305K 29.7K 4.7K
                                    

Sebastian Dawala baru menyesap seteguk kopi dinginnya ketika ponselnya mendadak bergetar, menandakan ada pesan baru yang masuk. Ternyata dari Sergio. Seketika keningnya langsung berkerut. Tidak biasanya Sergio menghubunginya, terutama jika anak itu tahu dirinya sedang berada di kantor. Sergio bukan tipe anak manja yang harus diantar-jemput saat sekolah, apalagi ketika dia sudah berstatus mahasiswa seperti sekarang. Daripada dilihat teman-temannya duduk sendiri menunggu jemputan, cowok itu jelas akan lebih memilih berdesakan dalam angkutan umum. Isi pesannya singkat, namun berhasil membuat mata Sebastian terbeliak.

From : Gio

Kak, gue kena masalah.

Sejuta skenario melintas dalam benak Sebastian. Apakah Sergio terlibat tawuran? Atau ditilang polisi karena menumpang mobil temannya yang ugal-ugalan? Atau tertangkap basah melakukan tindakan tak terpuji di lingkungan kampus seperti merokok dan menonton video porno? Sebastian menghembuskan napas, memutuskan mematikan komputernya. Tidak apa-apa, pikirnya. Bosnya tidak akan tahu. Lagipula, sekarang sudah jam empat lewat. Kurang dari sejam lagi, jam kerjanya akan selesai.

To : Gio

Ada apa?

From : Gio

Panjang ceritanya.

From : Gio

Lo dimana sekarang?

From : Gio

Di rumah Suri.

To : Gio

Tunggu. Bukannya itu nama anak aneh yang kemarin?

From : Gio

Iya.

To : Gio

Gue bilang juga apa, nggak usah nemuin dia. Terus gimana?

From : Gio

Gue nggak boleh pulang kecuali lo yang jemput.

To : Gio

Apa sih maksudnya? Gue nggak ngerti.

From : Gio

Nanti gue kirimin alamat rumahnya. Plis, kesini. Tolongin gue.

Lipatan di kening Sebastian makin dalam. Sebuah firasat buruk menelusup ke dalam dirinya. Ini bukan permulaan dari skenario film gore yang kerap tayang di bioskop—dimana pembantaian dimulai dengan menarik calon korban ke dalam sebuah rumah sebelum dibunuh dengan cara sadis—kan? Sebastian merasa khawatir, namun tentu saja dia tidak bisa mengabaikan Sergio. Terutama setelah Sergio menegaskan kalau dia tidak bisa pulang kecuali Sebastian menjemputnya.

Hm, apa sebaiknya telepon polisi saja ya?

Ponselnya bergetar lagi. Sesuai janjinya, Sergio mengirimkan alamat rumah yang dimaksud. Sebastian mengenal daerah itu karena letaknya yang tidak begitu jauh dari area cbd Kota Jakarta tempat bangunan kantornya berada. Sempat bimbang sejenak, akhirnya Sebastian memutuskan memanggil salah satu rekan kerjanya mendekat.

"Sa,"

Gadis yang dipanggil kelihatan terkejut, namun langsung menghampiri Sebastian dengan wajah penuh semangat. "Ada apa, Mas Tian?"

Sebastian paling tidak suka dipanggil 'Tian', karena melunturkan image kebule-bulean yang namanya sandang. Selain itu, dia juga membenci embel-embel 'Mas' yang Sasha berikan di awal namanya. Pertama, karena dia bukan mas-mas. Kedua, karena dia bukan orang Jawa. Namun untuk kali ini, dia mengabaikannya.

NOIRWhere stories live. Discover now