dua puluh empat

209K 18.8K 3.1K
                                    

Saat Sebastian masuk ke dalam kamar tamu tempat dia memindahkan Suri dari sofa ruang keluarga, Suri tidak lagi terlelap. Gadis itu tampak termangu di atas tempat tidur. Kakinya masih diluruskan dan berada di bawah selimut, namun kerut di dahinya menandakan dia tengah berpikir keras. Benar-benar bukan wajah orang yang baru bangun tidur. Sempat ragu sejenak, Sebastian memutuskan mendekat. Suri menoleh, alisnya terangkat saat melihat segelas susu di tangan kanan Sebastian.

"Susu lagi?"

"Ini susu cokelat." Sebastian berujar, meletakkan gelas itu di atas nakas. "Gue yang bikin. Lo sendiri yang waktu itu pernah bilang kalau susu cokelat buatan gue enak."

"Oh, berarti Gio udah balik dari minimarket?"

"Kenapa malah nanyain Gio?"

"Emangnya nggak boleh?"

Sebastian melengos. Duh, dia ini bicara apa?

"Lo tidur lama banget. Kayak orang mati. Tadi Tante gue yang dokter udah kesini. Katanya, lo cuma kecapekan." Sebastian tahu dia tidak wajib menerangkan, tapi entah kenapa penjelasan itu terlontar begitu saja tanpa bisa dia tahan. "Tante Aya udah kasih obat. Tadinya gue pengen minta ongkos sama lo, karena gimanapun juga tante gue dokter dan sekolah kedokteran itu mahal. Tapi kata Mami nggak usah."

"Mami kamu emang baik."

"Maksud lo, gue enggak?"

"Aku nggak ngomong gitu." Suri mesem-mesem dengan wajah jahil. "Kamu baik, kok. Tapi nggak sebaik Mami kamu. Untung aja kamu ganteng. Jadi aku maafin deh."

"Kayaknya gue salah mindahin lo ke kamar tamu. Kenapa tadi nggak gue lempar aja ke mobil pengangkut sampah yang kebetulan lewat."

"Oh, jadi kamu yang mindahin aku?"

Sial. Sebastian jadi kehilangan kata-kata untuk membalas sekarang. Demi Tuhan, anak ini adalah anak berumur delapan belas tahun yang belum lagi lulus SMA. Bagaimana bisa Sebastian kalah debat darinya? Sangat memalukan.

"Gio nggak akan sudi ngegendong lo. Mami nggak akan kuat, karena badan lo penuh lemak."

"Digendong ala-ala bridal style gitu dong," Suri terkikik, membuat wajah Sebastian kian memerah. "Nggak apa-apa, deh. Hitung-hitung buat latihan. Jadi nanti pas kita nikah, kita bisa bikin foto pre-wedding pakai pose-pose ekstrim. Kayak gendong di air terjun gitu misalnya."

"Lo sih enaknya dilemparin dari air terjun. Bukan digendong dari air terjun." Sebastian mendelik. "Mending minum susunya sekarang. Biar tenaga gue nggak mubazir."

"Kamu bawel. Jutek banget, ngalah-ngalahin Kak Rana kalau lagi dapet. Tapi nggak apa-apa deh. Dimaafin. Karena kamu ganteng." Suri meraih gelas susu dari atas nakas, menyesap seteguk-dua teguk sebelum kembali menatap pada Sebastian. "Aku pengen cerita. Kamu mau dengerin nggak?"

"Nggak."

"Yah, yaudah deh."

Alis Sebastian terangkat. "Emang mau cerita apa?"

"Jadi tadi ada arwah barusan ngedatengin aku."

"Stop." Sebastian langsung memotong kala merasakan bagaimana bulu kuduknya dialiri oleh sensasi dingin yang tak nyaman. "Gue nggak mau dengar soal yang begituan."

"Arwahnya cowok. Ganteng lagi."

"Mana ada," Sebastian mencibir.

"Serius."

"Gantengan mana sama gue?"

Masih memegang gelas susu, Suri menatap Sebastian dengan pandangan tidak mengerti. "Katanya tadi nggak mau dengar."

NOIRWhere stories live. Discover now