#08

131K 13.9K 3.4K
                                    

Ada sesuatu yang tidak pernah alpa teringat setiap kali Cetta mengenang masa kecil

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada sesuatu yang tidak pernah alpa teringat setiap kali Cetta mengenang masa kecil. Sesuatu itu adalah ayunan merah yang dipasang oleh Ayah di halaman belakang rumah, tepat di bawah naungan dahan rindang pohon mahoni yang memang telah berada disana sejak pertama kali Keluarga Wiraatmaja pindah ke rumah tersebut. Ketika Cetta dan saudara-saudaranya masih lebih kecil, mereka akan menghabiskan sepanjang sore bermain di sekitar ayunan merah tersebut. Biasanya, Calvin dan Chandra akan sibuk bermain gundu pada suatu sudut di dekat batang mahoni, sedangkan Suri lebih banyak duduk sendirian dalam kotak pasir, menggali lubang acak dengan jari-jari mungilnya hingga pasir berdesakan pada sela kukunya—yang lantas akan berakhir dengan omelan Bunda.

Diantara keempat anak Ayah dan Bunda, hanya Cetta yang sering berdiam diri di atas ayunan merah itu. Entah untuk melihat gambar-gambar penuh warna dari komik Asterix koleksi Ayah—karena waktu itu Cetta memang baru berusia empat tahun dan belum bisa membaca—atau membisu seraya menatap langit. Satu-satunya yang menarik minat Cetta di halaman belakang hanya ayunan merah tersebut dan itu sempat membuat Bunda merasa khawatir.

Pada suatu sore, ketika Chandra dan Calvin lagi-lagi saling berdebat setelah mengadu gundu sementara Suri sibuk bercakap-cakap dengan sosok tak terlihat (dulu, Ayah dan Bunda menganggapnya sebagai teman khayalan saja, karena toh Suri baru berusia dua tahun dan sangat wajar jika bocah seumur itu memiliki teman khayalan), Cetta masih saja bergeming di atas ayunan. Cowok itu memegang setangkai bunga matahari yang dipetiknya dari batang-batang tanaman milik Ayah di sudut lain halaman belakang, mulai mencabuti kelopaknya satu-persatu tanpa peduli situasi di sekelilingnya.

"Dimitrio,"

Apa yang membuat perhatian Cetta teralih adalah saat Bunda ikut naik ke ayunan, lantas duduk di seberangnya. Perempuan berambut sebahu itu tersenyum lembut, walau ada sorot cemas di wajahnya. Ketika Cetta sudah lebih besar, Cetta baru menyadari apa yang membuat Bunda khawatir adalah bagaimana dia terlampau bergantung pada ayunan merah tersebut sampai-sampai tak lagi mempedulikan apa yang ada di sekitarnya. Dia mengabaikan Chandra dan Calvin. Hampir tidak pernah bertegur sapa dengan Suri. Seolah dunianya telah tersedot sepenuhnya kepada ayunan itu.

"Kenapa, Bunda?"

"Kenapa nggak main sama abang-abang atau sama Culi?"

Cetta menggeleng. "Nggak suka main gundu. Nggak suka main pasil juga."

"Kalau gitu, kenapa nggak ajak abang-abang dan Culi main permainan yang lain?"

"Nggak mau." Bocah itu menggeleng lagi. Dia berhenti mencabuti kelopak bunga matahari di tangannya dan justru menggenggam tangkai bunga itu dengan genggaman erat yang terkesan amat defensif. "Aku lebih suka disini."

"Tapi terus-terusan main ayunan sendiri nggak baik loh, Dimi."

"Culi boleh main pasil sendirian." Cetta protes. "Aku juga halusnya boleh dong."

"Iya. Meskipun begitu, Culi masih suka main juga sama abang-abang yang lain. Culi masih mau duduk di meja makan kalau makan siang, atau berbagi sama abang-abang yang lain kalau punya kue atau es krim. Dimitrio nggak begitu. Dimi lebih suka sendirian main ayunan. Kalau abang-abang atau Culi ikut gabung, Dimi langsung pergi. Benar kan apa kata Bunda?"

NOIRWhere stories live. Discover now