dua puluh delapan

178K 19K 2.1K
                                    

ATTENTION : Oke. Pertama-tama, gue mau memberitahu sesuatu. Gue tau, nggak semua dari kalian suka baca filsafat. Tapi ini adalah tulisan gue. Ini adalah cerita gue. Buat gue, karya entah apapun itu bentuknya dari mulai tulisan, gambar hingga musik adalah seni. Pembuatnya pasti mencurahkan semua inspirasi, tenaga dan waktu untuk itu. Hanya dalam tulisan, gue bisa benar-benar jadi diri gue. Membagi apa yang gue mau tanpa sensor. 

Kalau kalian perhatiin, nggak ada tokoh yang benar-benar antagonis atau protagonis dalam tulisan gue. Karena kenyataannya, hidup memang seperti itu. Gue hanya berharap untuk mereka yang membaca cerita gue nggak membawa-bawa sentimen pribadi dan persoalan agama. Karena inilah gue. I'm open to every possibilities. I have dark thoughts. Sesuatu yang nggak bisa gue sampaikan di dunia nyata tapi hanya bisa lewat tulisan. 

Karya adalah seni. Seni adalah ekspresi kebebasan. Kamu punya hak tidak menyukai sebuah karya, tapi kamu nggak punya hak mendikte pembuatnya untuk begini dan begitu. 

Wkwkwk oke sekian. 

***

Awalnya, Sebastian menduga kedatangannya akan disambut Suri seperti saat dia menjemput gadis itu sesaat sebelum pergi ke Dufan. Tapi ternyata tidak. Sejenak sebelum mobilnya sempat mencapai bagian depan pagar rumah Suri yang tinggi, telah ada empat pria berderet menanti kedatangannya. Tiga diantaranya sudah Sebastian kenal. Mereka adalah kakak-kakak Suri yang sebuas singa liar. Sedangkan yang satu sudah berusia setengah baya. Wajahnya masih menyisakan gurat ketampanan masih muda, walau telah ada beberapa bagian di rambutnya yang memutih. Mudah meneka jika laki-laki setengah baya itu adalah ayah Suri. Wajahnya sangat mirip dengan Cetta, dan dia punya senyum serupa Calvin.

Tiba-tiba, Sebastian merasa nervous luar biasa tanpa dia tahu apa penyebabnya.

"Halo, kamu pasti Sebastian." Laki-laki setengah baya itu menyapa tatkala Sebastian sudah turun dari mobil. "Saya ayahnya Suri. Saya sudah banyak dengar cerita tentang kamu dari Suri sepanjang minggu ini."

Sebastian menjabat tangan Ayah. "Saya harap bukan yang jelek."

"Sebetulnya agak aneh." Ayah mengakui. "Kebanyakan cerita Suri tentang kamu selalu baik. Sebaliknya, cerita dari Dimitrio, Chandra dan Calvin selalu jelek. Saya bingung, jadi saya putuskan untuk ketemu kamu dulu. Well, kamu laki-laki yang rapi. Saya suka pribadi yang rapi. Bukan untuk saya loh, tapi buat anak saya. Suri itu... jujur saja, dia itu tipe cewek yang berantakan."

Ayah Suri pasti seseorang yang luar biasa jujur, itu penilaian Sebastian. Tawanya renyah dan tulus. Kini, Sebastian bisa menyimpulkan ketidaknormalan yang dimiliki oleh Suri serta ketiga abangnya kemungkinan besar berasal dari mendiang ibu mereka.

"Ye, Ayah, dia kan mau ke acara nikahan mantannya. Makanya penampilannya rapi. Masak ke acara nikahan mantan berantakan. Gimana bisa mantannya nyesal udah ninggalin dia kawin duluan?" Chandra langsung nyerocos, membuat Sebastian melotot.

"Man... tan? Dari mana lo tau kalau yang mau nikah itu mantan gue?" Sebastian berusaha keras menahan supaya nada suaranya tidak terlalu tinggi. Bagaimanapun juga, dia harus menjaga citra baik di depan ayahnya Suri. Meski akal sehatnya bertanya-tanya kenapa Sebastian merasa penting terlihat baik di depan lelaki separuh baya itu, dia tidak peduli.

"Dari adik gue tersayang, tentu aja. Jangan kira mentang-mentang dia suka sama lo, dia akan mengkhianati kakak-kakaknya. Sori-sori ya, kalau gue sama lo tenggelam di laut, Suri pasti bakal lebih memilih menyelamatkan gue daripada lo!" Chandra berujar penuh semangat, tidak lupa menjulurkan lidah dengan esensi mengejek di akhir kata-katanya.

Sebastian mendengus.

"Barachandra, jangan ngomong kayak gitu sama Sebastian." Ayah berkata tiba-tiba. Hati Chandra seketika terluka.

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang