tiga puluh

150K 17.4K 2.5K
                                    

Setelah mereka semua melepas kepergian Ayah yang harus kembali ke Pulau Sumatera untuk melanjutkan pekerjaannya mengurusi perkebunan milik keluarga, Suri kembali masuk ke kamar tidurnya. Semula, ketiga kakaknya terlihat khawatir. Mereka sempat berdebat tentang siapa yang harus menemani Suri di kamar hingga mencuci tumpukan piring di dapur, yang langsung Suri sudahi dengan jengah. Dia selalu memandang sikap protektif dari ketiga kakaknya sebagai tanda sayang, tapi kekhawatiran mereka sangat kelewat batas hari ini.

"Aku nggak akan mati, oke? Aku cuma mau tidur siang, abang!"

"Tapi Suri, kalau kamu kenapa-napa gimana? Kan lebih enak kalau salah satu dari kita ada yang di dekat kamu. Buat antisipasi aja." Chandra berujar.

Mata Suri menyipit. "Tumben banget otak abang bener?"

"Suri," Calvin mendengus. "Plis. Ini udah bukan waktunya bercanda, apalagi kalau udah menyangkut hidup dan mati kamu. See? Abang udah bilang harusnya sejak awal kamu nggak terlalu terlibat sama yang begituan."

"Nasi udah jadi bubur, abang."

"Terus gimana?"

"Tinggal tambahin kuah, kecap, sambal sama kerupuk."

Cetta langsung merengut. "Suri!"

Suri tertawa. "Haduh, kenapa sih abang-abang jadi nggak bisa diajak bercanda?"

"Suri, abang serius." Chandra berujar dengan nada memperingatkan.

"Duh." Suri mengembuskan napas keras, meniup sejumput rambut hitam yang jatuh di keningnya. "Gini loh, abang, aku tahu abang khawatir. Jujur, aku juga khawatir. Tapi kalau terus-terusan diingetin, aku malah makin takut. Untuk sekarang, bisa nggak kita bersikap kayak biasa aja. Kayak nggak terjadi apa-apa?"

"Tapi kan Suri, ini bukan sesuatu yang bisa dicuekin gitu aja."

"Aku tau. I'll do my best to stay alive, kok. Soalnya kalau aku mati juga kan kasihan Ayah harus tinggal sama tiga manusia pluto kayak kalian." Suri berdecak. "Untuk sekarang, aku mau tidur siang. Sendiri. Nggak mau diganggu. Kecuali Kak Rana, kalian nggak boleh masuk kamar aku sepanjang hari ini."

"Suri,"

"Duh, Abang Cetta, dengerin aku," Suri langsung memotong dengan nada suara yang sedikit lebih direndahkan menilik dari bagaimana ekspresi wajah Cetta yang betul-betul menyiratkan kecemasan. "Aku baik-baik aja. Selain kalian semua, ada makhluk lain juga yang ngelindungi aku."

"Makhluk lain?" Calvin melotot.

"Hantu-hantu." Suri menjawab lugas, lantas tanpa mempedulikan ekspresi ketiga kakak laki-lakinya yang masih terperangah kaget. Barulah saat Suri mulai berjalan menuju tangga, Cetta hampir bergerak untuk menahannya. Tetapi tindakan Cetta langsung terinterupsi kala Chandra mengulurkan lengannya di depan dada cowok itu. Spontan, Cetta menoleh padanya dengan mata melotot, yang lantas Chandra balas lewat satu hela napas panjang.

"Biarin aja." Katanya pelan. "Kita semua khawatir. Kita semua takut. Tapi dia pasti lebih takut."

Calvin mengernyitkan dahi. "Chan, lo nggak kesurupan, kan?"

Raut wajah Chandra langsung berubah dongkol. "Eh adik terdekil, lo nggak usah banyak omong. Mending sekarang lo hubungi Kassa, Kesa atau siapalah itu dan mulai nyari tau apa artinya langit mati. Buruan!"

"Namanya Khansa." Calvin mengoreksi dengan jengah, yang tak mau repot-repot dibalas oleh Chandra. Cowok tinggi itu berlalu menuju dapur, diikuti Cetta yang masih saja terlihat frustrasi. Namun Cetta belum lagi benar-benar meninggalkan Calvin sendirian di ruang tengah ketika cowok itu kembali dengan wajah penuh otoritas.

NOIRWhere stories live. Discover now