(4)

7.9K 950 85
                                    

Cal menemukan hotel yang Vivian sewa dalam lima belas menit. Lima belas menit! Padahal Vivian sudah berpikir akan mengitari pulau sampai pagi. Mau tidak mau Vivian harus mengakui bahwa adik Cara itu brilian.

Nama hotelnya, The Heaven of Olympus―dalam Bahasa Inggris. Tapi tentu saja Anthony perencana yang sempurna. Ia membuat segalanya sangat Yunani. Hotel ini menghidangkan makanan Yunani terbaik. Pemandangan Santorini yang laing menakjubkan. Fasilitas paling elegan dan lengkap. Hiburan-hiburan ala penduduk lokal. Juga nama hotel yang dicetak dalam bahasa Yunani. Siapa pula yang bisa membacanya?

"Hotel ini memang melebih-lebihkan. Secara teknis, Olympus sudah surganya dewa-dewi Yunani. Kenapa pula mereka perlu menambahkan kata heaven―surga?"

"Karena tempat ini adalah surganya surga. Ini hotel terbaik." Juga mahal, kalau-kalau Cal belum mengetahui yang sebenarnya.

"Sudah kubilang, penilaian itu subyektif, Viv. Orang lain mungkin berpikir ini bukan yang terbaik."

"Bagaimana kau tahu ini tempatnya?"

Mereka memasuki kawasan hotel dan disambut penjaga valet. Ada raut keheranan di wajah pria di depan pintu itu. Ia mungkin heran kenapa Vivian tidak kembali bersama Anthony, si pria yang menyewa mobil bagus untuk perjalanan bulan madunya. Tapi Vivian memasang wajah garang hingga pria itu mengalihkan pandangan. Tidak boleh ada yang macam-macam dengannya saat sedang sakit hati. Sekarang saja ia sudah cukup lelah karena berjalan begitu jauh sepanjang malam.

Vivian teralihkan oleh Cal yang berbicara di sampingnya. "Mudah saja. Kau mendeskripsikan fasilitas dengan jelas. Aku pernah memotret tempat ini untuk ulasan wisata bersama rekanku. Tempat ini masuk lima besar penginapan terbaik di pulau."

"Mungkin berada di nomor satu."

"Tidak benar. Kami harus memilih lima untuk jadi yang terbaik. Sudah kubilang, penilaian itu subyektif."

Karena sudah berjalan jauh dan tertekan secara emosional, Vivian pun mengalah. "Omong-omong, apa kau pernah berpikir kalau aku tidak punya kunci kamarnya?"

Cal tidak menggubrisnya. Ia berjalan dengan santai ke arah meja resepsionis. Menyandarkan tubuhnya dengan penuh percaya diri meski ia tidak berpakaian rapi dan necis seperti Anthony. Cal berantakan dengan kemeja flanel terbuka, kaos polos yang mencetak tubuhnya, celana jins robek, dan rambut sepanjang bahu yang diikat asal-asalan. Ia terlihat seperti akan pergi ke bar daripada masuk ke hotel mewah. Atau seperti tukang kayu daripada fotografer hotel berbintang. Atau Tarzan yang tersesat di Santorini tetapi tanpa cawat dan telanjang dada. Sama sekali bukan tipe Vivian. Pria itu sangat berantakan. Kadang-kadang Vivian tak mengerti mengapa dari seluruh Beverly, Cal adalah yang paling berbeda. Dia bukannya anak sulung atau bungsu. Secara teknis, meski ia kembar dengan Kevin, ia lahir beberapa menit lebih dulu.

Cal menghampirinya beberapa saat kemudian, membawa tas tangan bermerek miliknya dan dua koper besar. Rautnya seolah mengatakan, apa kubilang. Vivian berusaha tidak sakit hati. Kadang anak-anak Beverly memang brengsek. "Tidak punya barang, ya?" sindirnya.

Vivian menyambar tasnya dan mengecek isinya. Seluruh dokumennya lengkap. Kartu kredit Anthony masih di sana. Uang tunai yang tak seberapa juga di sana. Ponselnya masih utuh. Vivian ingin mengecek kopernya, namun mengurungkan niat. Ia tergerak ingin tahu apakah gaun mahalnya masih dalam jumlah sama. Tetapi alasan terbesarnya, ingin tahu apakah koper itu memang masih ada isinya.

"Semua dokumenmu lengkap. Kau beruntung. Bisa jadi suamimu itu pendendam dan membakar semua dokumen sehingga kau tidak bisa pulang," kata Cal.

"Akulah yang harusnya mendendam. Saat ini aku ingin membakar sesuatu dan hal pertama yang ingin kubakar adalah kejantanannya."

REPLACE THEMWhere stories live. Discover now