(30)

9.2K 993 97
                                    

Hari keberangkatan Vivian dan Cal ke Paris diwarnai dengan hujan, tiupan angin kencang, dan udara dingin yang menyengat. Cal memastikan mobil sewaan mereka yang akan mengantar mereka ke bandara tepat waktu. Agensi memberi kabar padanya bahwa mobil sewaan mereka dalam perjalanan menjemput Cal dan Vivian.

Cal menutup ranselnya. Menatap Vivian yang terpekur di ambang jendela, memandang hujan yang membasahi bumi. Wanita itu memeluk diri dan begitu diam. Vivian terlihat murung sejak semalam. Cal tahu ada suatu hal yang Vivian pikirkan dan tidak waita itu bicarakan dengannya. Semangat Vivian tentang Paris tidak lagi seperti sebelumnya.

Cal memeluk Vivian dari belakang. Wanita itu menyandarkan kepala di dada Cal seraya menghela napas. Kulit Vivian terasa dingin, jadi Cal mempererat pelukan. "Kau oke?"

"Yeah."

Cal mengecup bahu Vivian yang terekspos. Vivian hanya mengenakan tanktop dan celana jins selutut yang sudah usang. Wanita itu telah menyiapkan jaketnya. Namun ada yang aneh. Vivian bahkan tidak merias diri, padahal mereka akan berpergian. Sama sekali bukan Vivian yang biasanya. Meskipun Vivian memang cantik dengan cara apapun.

"Aku tidak sabar menunjukkan Paris padamu," kata Cal.

Vivian menghela napas dan melepaskan diri dari pelukan Cal. Ia beringsut menatap Cal dengan sorot yang yang tidak Cal mengerti. "Menurutku... kita tidak perlu pergi."

Cal terhenyak. Ia tidak mengerti mengapa Vivian berubah pikiran. Cal telah menyiapkan rencana perjalanan yang menyenangkan untuk Vivian. Ia ingin memberi Vivian dunianya. Kenapa tiba-tiba perubahan ini terjadi? Apa yang salah? "Apa aku melakukan kesalahan? Apa menurutmu Paris tidak terlalu bagus?"

"Tidak," sahut Vivian cepat. "Aku yakin Paris akan sangat indah. Rencana ini sangat sempurna, tapi kurasa ini terlalu cepat untuk kita. Baru beberapa minggu kita berkencan dan perjalanan ini berlebihan. Ini seperti... tinggal bersama."

"Itulah tepatnya yang kulakukan," tukas Cal. "Aku memang ingin tinggal denganmu. Aku tidak mau jauh darimu. Aku punya pekerjaan dan segalanya, tapi aku tidak bisa meninggalkanmu."

Vivian meraih tangan Cal dan memberi genggaman kuat. "Aku tahu. Aku juga tidak bisa membayangkan apa yang akan kulakukan dengan hubungan ini kalau kita saling berjauhan. Hubungan jarak jauh bukan keahlianku. Tapi aku merasa berat meninggalkan Westerly."

Cal meraih dagu Vivian dan memaksa wanita itu untuk menatapnya. "Kenapa?"

Vivian menghela napas keras. "Mereka terlihat sedih, Cal."

Cal tahu siapa yang Vivian maksud. Jadi ini ada hubungannya dengan makan malam keluarga itu. Ini tentang keluarga mereka yang mencegah mereka pergi lebih awal. Bukan pertama kalinya keluarganya melakukan itu. Mereka menahan Cal setiap kali Cal akan melanjutkan perjalanannya. Setiap kali mereka melakukan itu, Cal juga merasa sama buruknya. Cal tidak suka melihat keluarganya bersedih, tapi ia tidak bisa menetap. Ia punya pekerjaan dan segalanya. Cal berhasil mengabaikan semua itu dan tetap pergi. Sekarang ini ia benar-benar ingin membawa Vivian bersamanya.

"Viv, mereka memang akan selalu sedih," kata Cal. "Tapi ini benar-benar bukan perpisahan. Kita akan bertemu mereka lagi. Kita akan pulang. Aku janji."

Vivian menyandarkan kepalanya ke jendela dan mendesah. "Entahlah, Cal. Kupikir ini ini bukan waktu yang tepat untuk pergi. Lima negara akan jadi sebuah petualangan hebat, tapi aku tidak bisa pergi sekarang." Ia menatap Cal dengan serius. "Jika kau memang harus pergi, pergi saja, Cal. Aku akan tetap di sini. Kau punya pekerjaan yang menuntutmu pergi, tapi aku tidak. Aku bisa menunggumu pulang. Aku akan baik-baik saja di sini bersama sahabat-sahabatku."

Cal menatap Vivian dengan nanar. Tidak yakin apa yang ia harus lakukan sekarang. "Apa? Tidak! Ini sama sekali bukan pilihan, Viv. Kau harus ikut denganku. Aku sudah merencanakan segalanya, oke? Penerbangan kita tinggal beberapa jam lagi."

REPLACE THEMWhere stories live. Discover now