(16)

8.2K 909 86
                                    

Sepertinya mencium dengan brutal bukanlah karakter Cal. Vivian bisa merasakan Cal yang gemetar ketika mendesaknya ke dinding lorong, berusaha sekuat tenaga menjaga temponya supaya pelan dan manis. Tapi Vivian tidak mau yang pelan dan manis. Ia ingin sesuatu yang lebih. Sia-sia saja selama beberapa hari ini ia menyingkirkan hasratnya dan memarahi diri karena berpikir Cal memang benar-benar ingin menciumnya. Itu pikiran bodoh, tapi nyatanya pria itu memang menginginkan ciumannya. Sehingga Vivian kini tak ragu menyentuh tubuh Cal hingga pria itu mengeluarkan geraman berat dari tenggorokannya.

Vivian tak tahu mengapa Cal menjaga tangannya tetap di belakang tubuh Vivian. Padahal seluruh tubuh bagian depan Vivian mendambakan sentuhan. Vivian merasakan gairah itu, betapa pria itu pun juga ingin menyentuh namun menahan diri. Vivian mengambil inisiatif untuk menyusupkan tangannya ke balik sweter pria itu.

"Viv, jangan..." geram Cal.

"Tidak, jangan bicara," balas Vivian sebelum mencium pria itu lagi.

Vivian melepas sepatunya tanpa melepas ciuman, membuatnya tubuhnya lebih pendek sepuluh senti lagi dari Cal. Pria itu perlu menunduk untuk memperdalam ciuman. Mereka melesakkan lidah, menarik satu sama lain makin dekat. Tahu-tahu Vivian sudah berakhir di ranjang, di bawah Cal.

Cal memundurkan wajah. Rambut sebahunya menggantung membingkai wajahnya. Ia menatap Vivian dengan hasrat di matanya. Jemarinya menelusuri bahu telanjang Vivian, mengirimkan getaran gairah. "Kau sangat cantik."

Vivian mengulurkan tangan untuk membawa rambut Cal ke belakang telinga, ingin melihat wajah Cal lebih jelas. Mata biru yang dalam, wajah tegas dengan rahang kukuh, rambut kecokelatan yang halus. Vivian selalu berpikir keluarga Beverly itu hebat, tetapi ia tidak pernah berpikir salah satu dari mereka ternyata bisa membangkitkan gairah hingga menggebu seperti ini.

"Sentuh aku," bisik Vivian.

Cal menarik dagu Vivian, membawa bibir mereka kembali bersentuhan. Kali ini hanya sebuah kecupan manis yang singkat. Cal memundurkan wajahnya lagi untuk menatap mata Vivian. Ia mendengus ketika merasakan tangan Vivian yang menyusup ke sweternya untuk mengusap punggung keras pria itu. "Viv, aku... mencoba untuk... pelan-pelan."

"Jangan pelan," kata Vivian. Ia menarik ujung sweter Cal ke atas. "Lepaskan untukku."

Lengan Cal meraih ke belakang untuk melepas sweternya dalam satu tarikan mudah. Otot-otot Cal menegang untuk menjaga tubuhnya menindih Vivian. Mata Vivian turun ke perut pria itu. Perut keras dengan segaris rambut menuju ke arah tersembunyi di balik celana jinsnya. Ketika Vivian menyusupkan jemarinya menelusuri rambut halus itu, Cal kembali menggeram. "Sial! Tunggu..."

"Apa?"

"Aku... tidak bermaksud untuk ini," kata Cal pelan.

Vivian cukup terkejut dengan pernyataan itu. Pria itu meminta ciumannya, menyentuhnya seperti membutuhkan udara, dan gairahnya terasa sekeras baja di balik celananya, tetapi ia tidak bermaksud untuk ini. Vivian tidak mengerti. "Kau tidak mau kusentuh?"

Mata Cal tak lagi fokus. Napasnya terasa berat. "Aku begitu sialan ingin kau sentuh."

Maka Vivian nekat menyusupkan tangannya dan meremas pria itu. Cal mendengus kuat-kuat dan menjatuhkan tubuhnya di atas Vivian. Pria itu luluh lantak dalam sekali remasan. Ia mencumbu leher Vivian dengan ganas hingga Vivian mendesah. Gairah Cal mendesak di antara pahanya.

"Viv, jika kau tidak berhenti―"

"Aku tidak berniat berhenti," kata Vivian susah payah di tengah erangannya karena Cal memberi gigitan pelan menggairahkan.

"Keparat." Cal menyusupkan tangannya ke balik gaun Vivian. Menemukan celana dalamnya dengan mudah dan mencari jalan menyentuh pusat wanita itu. Vivian menjerit ketika jemari Cal membelainya.

REPLACE THEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang