(26)

8.8K 1K 143
                                    

Setelah mencapai beberapa kali puncak kenikmatan selama dua jam, Cal kehilangan seluruh tenaganya. Bercinta dengan Vivian memang tak akan pernah cukup untuknya. Hubungan mereka berubah dari sopan menjadi gila-gilaan. Setelah Cal menyadari perasaannya, rasanya ia tak ingin membuang setiap detik waktunya untuk berjarak dengan Vivian.

"Skor sementara: lima-dua," kata Vivian setelah menetralkan napasnya. "Aku akan balas dendam."

Cal tertawa, lalu menumpukan kepalanya di lengannya. "Aku lebih suka mengantongi tiga skor dalam satu kali main."

"Kau selalu mengantongi tiga skor dalam sekali main," ralat Vivian sambil menyeringai. Ia memberikan ciuman manis dari bibir penuhnya yang memabukkan. Membuat Cal menggeram hingga tangannya tidak tinggal diam untuk tetap menjaga jarak dari Vivian.

Cal melepas ciuman itu lebih dulu sebelum ia kehilangan kendali. Menyatukan dahinya dengan dahi Vivian. "Aku mencintaimu."

Vivian tidak membalasnya. Setidaknya belum, pikir Cal. Ia berusaha menunjukkan perasaannya sepanjang hari ini. Cal bahkan menyematkan kalimat itu berulang kali saat mereka bercinta supaya Vivian percaya. Dan, ya, sepertinya Vivian melunak daripada semalam karena wanita itu tidak defensif padanya atau mendiamkannya. Meski tidak menjawab, senyum tulus Vivian terlukis dan Cal mendapat hadiah sebuah ciuman penuh hasrat. Itu pertanda baik.

"Kapan kau menyadarinya?" tanya Vivian mengejutkan Cal. "Bagaimana kau tahu kalau kau memang mencintaiku?"

Cal berusaha memikirkan jawaban yang bagus namun tak satupun terlintas. Ia hanya tahu bahwa yang ia rasakan pada Vivian itu nyata. Perasaan ini bahkan tak bisa dibandingkan dengan hubungannya dengan April dulu. "Aku tidak tahu. Memikirkanmu membuatku sinting dan itu sudah cukup membuatku mengerti bahwa perasaan ini nyata dan ada. Aku tak bisa menghentikannya. Kurasa Santorini memang mengubah segalanya." Cal membawa Vivian ke pelukannya. Rasanya begitu nyaman dan Cal tidak ingin ini berhenti. Ia tak ingin melepaskan Vivian. "Apa itu mengganggumu? Perasaanku?"

Vivian menghela napas seraya memainkan jemari di dada Cal. Ia mendongak menatap Cal. "Aku takut pada perasaanku sendiri. Aku tidak sempurna. Aku baru saja berpisah dengan suamiku yang idiot itu. Aku tak tahu apakah itu mempengaruhimu. Aku bukan April yang hebat, gadis impianmu di masa lalu. Kau bisa saja meninggalkanku seperti ayahku atau ibuku."

"Aku juga tidak sempurna, V. Aku menyetir empat puluh kilometer per jam, ingat? Dan kalau boleh kuberitahu, umurku dua puluh sembilan. Aku tidak akan memilih gadis manapun. Aku ingin seorang wanita yang membuatku tergila-gila. Itu kau. Aku juga tidak berniat meninggalkanmu. Kau berarti segalanya untukku." Memikirkan Vivian pergi dan membuang perasaannya saja sudah membuat Cal gila semalam.

Vivian mendengus geli dan menutup wajah Cal dengan tangannya, membuat Cal tertawa. "Kau terdengar seperti Kevin, tukang rayu. Kalau sekarang kau mengaku kau adalah Kevin, aku pasti percaya."

Cal mengendik. "Aku yakin ada bagian dari kami yang berbeda. Big Cal akan tetap jadi Big Cal," candanya.

"Hati-hati. Saudaramu sudah menghasilkan dua putra. Dia sudah membuktikan kualitas."

Cal menyeringai dan berbisik pada Vivian. "Lepas kontrasepsimu. Akan kubuktikan kualitasku. Kita mungkin bisa punya bayi kembar."

Vivian melotot. "Apa itu? Sebuah garansi?"

Cal mengendik santai. Sekarang pikiran tentang memiliki anak-anak bersama Vivian terdengar menggiurkan. Mereka mungkin akan punya bayi kembar. Mungkin anak Cal akan menjadi dua anak laki-laki kembar yang identik seperti Cal dan Kevin. Vivian akan jadi ibu yang hebat mengingat ia bisa menaklukan anak-anak. Cal akan punya tim yang akan ia bawa berkeliling dunia.

REPLACE THEMWhere stories live. Discover now