(25)

7.8K 987 98
                                    

Pemakaman begitu sepi ketika Cal tiba pagi itu. Ia hanya bertemu pasutri paruh baya yang berjalan bergandengan di bawah payung yang sama karena cuaca mendungnya semakin pekat. Cal hanya pernah menginjakkan kaki di tempat itu saat ibunya tiada dan saat April meninggalkannya. Setelah itu Cal tidak pernah lagi ke sini. Ia bahkan belum pernah mendekati makam April hanya karena takut mengakui bahwa April memang telah tiada. Tapi tidak sulit bagi Cal untuk menemukan makam mantan kekasihnya itu.

Cal menggigil ketika memasuki pemakaman, dan itu tidak ada hubungannya dengan cuaca pagi ini yang sepertinya akan diguyur hujan. Meski begitu Cal tak gentar untuk melanjutkan langkahnya menuju makam April. Tekadanya telah bulat. Jika ia ingin melanjutkan hidup, maka ia harus berdamai dengan kepergian April yang selama ini menyiksanya.

Nama April Marquis yang tertera di batu nisan hampir membuat Cal tak percaya. Dulu ia menuliskan nama itu di belakang buku catatannya, bagaimana mungkin sekarang nama itu tertera di tempat yang sunyi dan dingin ini?

Cal meletakkan bunga lili mawar merah muda yang ia beli di makam April. Ia masih mengingat warna kesukaan April adalah merah muda. Cal berkata, "Hei." Namun tak yakin. Akhirnya ia hanya diam memandangi batu nisan itu. Mengguncang kesadarannya bahwa April memang telah tiada. Cal tidak tahu berapa lama ia terdiam. Mungkin sudah sepuluh atau bahkan tiga puluh menit. Ia ingin mengatakan sesuatu namun kehilangan kata-kata.

Tiba-tiba saja Cal menangis dalam kesendiriannya. Lantas ia pun jatuh berlutut di depan makam April. "Maafkan aku. Kau tidak seharusnya kutangisi. Aku tahu kau sudah tenang, bukan begitu? Maaf aku belum pernah melihatmu di sini. Ini sama sekali tak pantas. Aku datang ke sini, menangis, untuk membuatmu gelisah. Tapi aku tidak akan melakukannya lagi, oke? Kau dengar aku, Apps?" Cal tertawa. "Oh, ya. Aku masih ingat aku dulu memanggilmu begitu dan kau selalu marah karenanya. Aku dulunya mencintaimu, tapi sekarang aku harus melanjutkan hidup. Wanita ini sangat hebat, Apps. Dia lucu, dia pintar, dia cantik, dia seksi, dan aku sangat mencintainya."

Cal mengingat senyum April yang mengiringinya di lorong sekolah selama tiga tahun. Ia mengingat masa-masa indahnya bersama gadis itu. Semuanya hanya kenangan yang harus ia simpan. Ia tidak mau membayangkan April dalam kilasan kenangan yang mengerikan. Ia ingin April yang selalu cantik, ceria, dan cerdas dalam benaknya. Kemudian ia bisa melanjutkan hidupnya di dunia nyata bersama Vivian yang dicintainya.

Cal mencabuti rerumputan yang mulai memanjang di sekitar makam April. Mengusap batu nisannya seraya mengulas kembali masa-masa indahnya bersama April. Ini akan menjadi perpisahan yang seharusnya, tanpa tercoreng kenangan pahit. April adalah gadis yang hebat dan untuk alasan itulah Cal mencintainya. Cal pernah mengira dirinya tidak akan mampu mencintai lagi tapi Vivian memutar arah kehidupannya menjadi lebih baik. April akan menjadi kenangan manisnya saat remaja yang tidak akan pernah ia ungkit embali. Cal seharusnya melakukan ini sejak lama, tapi rasanya begitu sulit untuk berdamai dengan kesendiriannya, sampai hari ini.

"Selamat tinggal, Apps. Beristirahatlah dengan tenang." Cal tersenyum dan ia bersumpah merasakan desiran familiar di dadanya yang ia ingat saat ia melihat senyum April yang manis. Senyum Cal pudar seketika. Ia menatap kejauhan di mana pemandangan teluk terlihat cerah dan padang rumput terbentang. Ia mencari-cari bayang April, namun tentu saja itu hanya halusinasinya.

Ketika Cal menatap ke belakangnya, ada bayang seorang wanita di balik pohon yang membuat Cal penasaran. Maka Cal beranjak dengan santai seolah-olah tidak menyadari kehadiran siapapun yang ada di balik pohon itu. Ketika ia mendekati pohon itu, Cal bisa melihat jelas payung abu-abu yang tersibak dan rambut kemerahan yang mencuat terlihat. Cal bisa mengenali parfum wanita itu di manapun. Senyum Cal pun mengembang.

Cal berdeham. "Jika kau ingin bersembunyi, seharusnya kau menutup payungmu."

Ada suara erangan di sana. Kemudian umpatan Vivian terdengar, namun Vivian pun masih belum menutup payungnya. "Idiot."

REPLACE THEMWhere stories live. Discover now