The Duke's Darkside |05|

15.1K 721 4
                                    

Warning: banyak narasi, awas bosan!

***

Hari ini tepat seminggu pasca kejadian menyedihkan itu. Esok hari—setelah Tuan Liam Crawford menyelamatkannya, Raina ada kelas. Dan gadis Asia itu langsung diserbu oleh Kate dengan berbagai pertanyaan beruntun seputar menghilangnya Raina.

Ya mau tak mau Raina menceritakan peristiwa itu meski hatinya enggan. Respon Kate benar-benar di luar dugaan Raina. Bagaimana bisa di otak encernya, Kate mencetuskan sebuah ide agar mengatakan hal tersebut pada orang tuanya!

Membawanya ke ranah hukum! Oh ayolah ... Raina paham, tuan dan nyonya Russel adalah pasangan politikus yang pasti memiliki pengacara-pengacara handal. Tapi tak bisakan nona muda Russel itu tutup mulut? Toh, Raina baik-baik saja, gadis itu hanya tidak ingin memperkeruh keadaan.

Setelah Raina menjelaskan ketidaksetujuannya pelan-pelan pada Kate, barulah gadis bermarga Russel itu mengerti. Akhirnya ia hanya menjawab, 'Kurang ajar sekali mereka, mentang-mentang kau perempuan bisa seenaknya menculik dan menjualmu. Ya Tuhan, untung kau baik-baik saja'.

Lalu setelah kelas kuliahnya berakhir, Raina bergegas menuju tempat kerjanya. Sesampainya di sana, bosnya itu tidak jauh berbeda dengan sahabatnya. Natasya langsung mengintrogasi gadis Asia tersebut.

Namun responnya berbeda dengan Kate. Gadis itu marah-marah dan sesekali mengumpat, sedangkan bosnya terpaku kemudian menangis iba. 'Bagaimana bisa mereka bertindak keji pada gadis sebaik, selugu, dan selemah Raina. Benar-benar tidak punya hati!' begitulah yang dipikirkan oleh Natasha kala Raina telah menyelesaikan ceritanya.

Sementara ibu dan ayahnya, dia memilih untuk tidak memberitahu mereka. Raina tidak mau mereka syok lalu berakhir ke jantung. Pasalnya, orang tuanya sama-sama punya riwayat penyakit mematikan tersebut.

Selain itu, saat ini dia juga tidak memiliki ponsel. Dan kenyataan tersebut membuatnya harus menerima kenyataan bahwa ia lost contact dengan orang tuanya yang begitu jauh jaraknya.

Dan bodohnya, sudah tahu tidak hafal kenapa tidak mencatat nomor ponsel kedua orang tuanya. Ditambah lagi, sudah setahun terakhir ini, dia tidak bisa pulang ke tanah kelahirannya karena minimnya biaya. Raina benar-benar merasa seperti Malin Kundang versi wanita.

Semoga saja mereka tetap berada di lindungan Tuhan.

Omong-omong, untuk hari ini, jam kerja Raina tidak seperti biasanya. Tempat kerjanya sedang ada perbaikan. Oleh karena itu, semua karyawan terpaksa dipulangkan lebih awal dari biasanya.

Dan besok, karyawan bisa kembali bekerja seperti biasa, mengingat hanya saluran pembuangan air saja yang perlu dibenahi. Namun tidak untuk Raina, karena besok adalah jadwalnya cuti untuk minggu ini.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Raina bergegas bangkit dari rebahannya menuju dapur untuk memasak makan malam. Gadis itu membuka lemari pendingin. Di sana hanya ada makanan khas anak rantauan; telur, mie instan dan sosis.

Hampir lupa, sekarang kan tanggal 28. Pantas, cuman ada ini di kulkas.

Tak ingin buang-buang waktu lagi, Raina bergegas mengeluarkan bahan-bahan yang ia perlukan. Dia memutuskan memilih omelet sebagai lauk makan malamnya kali ini.

Tangannya begitu lihai dalam mengolah makanan tersebut. Mulai dari merebus mie sampai menggoreng mie yang telah ditiriskan kemudian dilimuri dengan kocokan telur dan irisan sosis tersebut.

Jangan salah, keahlian Raina selain mendesain adalah berkutat dengan aktivitas yang berbau bumbu. Apalagi negara asalnya memiliki berbagai macam rempah-rempah dan masakan yang beragam. Sudah sepatutnya gadis itu harus mengerti akan kegiatan masak-memasak.

Sebenarnya Raina bisa saja memasak makanan Indonesia. Hanya saja kendala utamanya adalah tak semua rempah-rempah yang dibutuhkan selalu tersedia di sini, di negeri orang.

Tak terasa, omelet yang gadis itu buat sudah siap untuk disantap. Raina membawa dua piring di tangannya menuju ke meja makan. Kanan, piring berisikan nasi, sedangkan kiri berisikan olahan mie dan telur tersebut.

Gadis itu menyantap makanannya. Atmosfer rasa syukur melingkupi ruang makan itu kala mengingat kejadian menyedihkan itu, apalagi jika bukan penculikan waktu itu.

Samar-samar Raina mendengar suara pintu yang diketuk. Ia menghentikan aktivitasnya, mendengarkan suara itu lagi dengan jeli. Tapi tak kunjung datang. Raina mengendikkan bahu acuh dan kembali melanjutkan acara makannya. Mungkin cuma perasaanku aja.

Tok tok tok!!

Raina bergegas bangkit, berjalan sedikit tergesa-gesa menuju pintu utama. Ia kira hanya perasaannya saja, ternyata memang benar-benar ada yang mengetuk pintunya.

"Ya, sebentar."

Ceklek.

"Tuan Liam?" Raina sedikit terkejut. Apalagi di tangan kanannya menenteng sebuah map. Pertanyaannya, untuk apa?

"Ya, baguslah kalau kau masih ingat padaku."

"Tentu saja saya ingat, Tuan." Raina membuka lebar pintunya. Mempersilakan pria di depannya untuk masuk.

"Silakan masuk, Tuan, maaf flat saya kecil."

"Tapi rapi dan bersih, hmm ... tak masalah."

Mereka telah duduk di sofa tua ruang tamu. Sebenarnya Raina sudah cepat-cepat ingin tahu apa maksud kedatangannya kemari. Hanya saja gadis itu menahan diri, dengan berbasa-basi sedikit sepertinya bisa menghangatkan suasana.

"Anda kemari seorang diri, Tuan?"

"Secara teknis, tidak. Gilbert, dia sedang menunggu di mobil."

Ah ya, supir itu.

"Emmm ... excuse me, Sir. Kalau boleh tahu, apa yang membuat Anda kemari?"

"Bisa kau antarkan dokumen-dokumen ini sekarang?" Liam menunjuk tumpukan kertas dalam sebuah map yang sudah berada di atas meja.

"Maaf sekali, Tuan, hari ini saya ada tugas kampus yang harus dikumpulkan esok hari."

"Wah, sayang sekali. Padahal kau punya hutang padaku. Dokumen ini begitu berharga, kau tahu ... bisnis."

"Bagaimana dengan Tuan Gilbert, supir Anda pasti bisa melakukannya."

"Dia mengurus hal penting lainnya."

"Bagaimana kalau Anda memesan salah satu driver online untuk mengantar dokumen-dokumen Anda," tawar Raina lagi.

"Aku tidak bisa memercayai orang asing," jawab Liam.

Lalu apa bedanya sama Raina? Raina kan orang asing juga, batinnya sedikit bingung.

Raina menghela napas. Pemikiran orang kaya ternyata lebih sulit dinalar. "Bagaimana kalau besok? Kebetulan saya cuti kerja. Sepulang dari kampus, saya akan mengantarkannya."

"Itu lebih baik."

Liam mengeluarkan selembar kartu yang berbentuk persegi panjang. Di sana terdapat beberapa kalimat. Kemudian memberikannya pada Raina.

Gadis itu menerima sambil melihat kartu berwarna hitam tersebut. Seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Raina, pria itu kembali berkata, "Itu alamatnya. Jika kau telah sampai di sana, lalu pemiliknya bertanya kau siapa, cukup jawab dengan kode itu."

"Tanpa memberitahu nama saya, Tuan?"

"Terserah padamu." Pria terlihat berdiri dari sofa tua tersebut. "Baiklah. Terima kasih, Raina. Senang sekali kau bisa membantuku." Liam mengulurkan tangannya, sebagai tanda terima kasih. Lalu Raina membalasnya.

"Saya juga, Tuan."

"Aku pergi dulu, ada urusan penting yang sedang menungguku. Selamat sore, Raina."

"Selamat sore juga, Tuan."

Raina mengantar kepergian Liam dari flatnya hanya sampai pintu utama saja. Setelah itu dia bergegas menuju meja makan, menghabiskan omeletnya yang mungkin sudah tidak hangat lagi.

.
.
.
To be continued

The Duke's DarksideWhere stories live. Discover now