The Duke's Darkside |19|

6.8K 414 7
                                    

DISPET NYIDUK HYUN BIN SAMA SON YE JIN, ANJIRR. WOII MEREKA UDAH BERLAYAR DI 2019-2020 TAUU. TELAT BGT SUMPAAA😭😭

BTW, AKU NGGA K-GET SAMA SEKALI LOHHH😆😆 ADA YANG SAMA NGGAK?

***


"Jangan pergi ke tempat kerja, kampus, dan flat-mu, Raina. Kau harus ingat ucapan Paman. Tetaplah di sini, maka kau akan aman."

Raina menghela napas tatkala mengingat perkataan Gilbert. Sekarang, ia sudah tidak di Manchester lagi, melainkan di sebuah kota kecil bernama York.

Kota tersebut memang tidak terlalu jauh dari Machester, namun itulah yang menjadi poin utamanya. Karena David pasti mengira bahwa Raina berada di sebuah kota yang jauh dari Manchester, atau bahkan sampai ke luar daratan Britania Raya. Ya, setidaknya begitu yang dipikirkan oleh Gilbert.

Semua memang telah direncanakan dengan matang, bahkan dengan sebuah rumah bergaya kastil yang ditempati Raina saat ini. Oh ... gadis itu hanya berharap semoga aksi bersembunyi-menyembunyikan ini tidak ketahuan oleh David. Jika tidak, keselamatan mereka benar-benar berada di ujung tanduk.

Raina bergidik ngeri membayangkannya.

"Raina?"

Raina sedikit berjingkat, terkejut dengan sapaan yang tiba-tiba itu.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya," jawabnya sambil mengusap dada. Untuk seorang yang tengah tenggelam dalam pikirannya, wajar saja bila ia benar-benar terkejut.

"Maaf, tapi aku sudah mengetuk pintu berkali-kali, namun tidak ada jawaban." Wanita berusia sekitar 40 tahunan yang bernama Carmilla itu melangkah ke arah jendela, tepat di mana Raina sedang berdiri memandang kosong rintik hujan di luar sana.

"Kau terlihat muram sejak datang kemari dua hari yang lalu."

Raina gelagapan, apakah ia tampak seperti itu? Ah tidak mungkin. Bagaimana bisa ia tampak murung ketika ia telah merasakan udara lepas?

Bibi Carmilla menuntunnya menuju ranjang. "Tak apa, kau tidak perlu bercerita jika tidak ingin," ucapnya setelah mereka sudah duduk di tepian ranjang. Beliau mengusap lembut rambut hitam milik Raina dengan penuh ketulusan.

"Bibi, entahlah, Raina hanya merasa ... seharusnya hal ini tidak boleh untuk dilakukan."

"Lari dari tuan David, menurut kau ini salah? Lantas bagaimana seharusnya? Tetap bertahan di sisinya?"

"Bukan, Bibi, bukan begitu maksud Raina." Perempuan muda itu menyangkal dengan sedikit merengek. "Kenapa Raina tidak meminta dilepaskan secara baik-baik saja, itu yang menganjal di sini." Raina menunjuk dadanya sendiri.

"Pikirkan baik-baik, Raina. Apa kau pikir, tuan David akan melepaskanmu begitu saja?!"

Raina terkejut dengan nada suara yang terdengar tegas itu, nyalinya tiba-tiba menciut. Setelah ada jeda yang cukup, perempuan berumur 19 tahun itu menundukkan kepalanya seraya menggeleng pelan.

"Ya, itu betul." Bibi Carmilla menghela napas. "Ini pertama kalinya Gilbert membawa seseorang setelah kepergian kakak iparku sepuluh tahun yang lalu ...."

Bibi Carmilla melepaskan pandangannya dari Raina ke arah jendela. "... awalnya aku bersikeras menerima seseorang yang menjadi 'buronan' dari atasan kami sendiri. Namun setelah aku melihatmu, aku langsung tahu mengapa kakakku bersikeras membawamu kemari dan melindungimu."

Ada jeda sedikit, "Kau begitu mirip dengan Maria, mendiang istri Gilbert."

"Aku harap kau tidak menyia-nyiakan apa yang sudah kami usahakan," imbuhnya lagi.

Raina mematung, ia tidak berkata apa-apa lagi selain menatap wanita paruh baya itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang mengganjal di hatinya, namun mengapa lidahnya begitu kelu? Dan mengapa pula setelah mendengar secuil kisah Paman Gilbert, Raina merasa seperti kehilangan?

Perasaan macam apa ini?!

●●●

"Siapkan pesawat, Liam. Nanti malam kita akan pulang ke Manchester."

Suara bariton itu mengisi ruangan yang didominasi warna hitam dan abu-abu. Setelan mahal itu terlihat sangat pas di tubuh atletisnya. Sorot matanya yang setajam elang itu menatap kota Manhattan dari balik kaca besar. "Sudah cukup main-mainnya, baby girl."

Liam mengangguk tanda patuh. Ia melirik jam berwarna cokelat yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu sekitar 5 jam lagi.

David menyudahi aksinya. Pria itu berbalik menuju ke arah Liam seraya berkata, "Apakah aku masih memiliki jadwal lagi?"

"Tidak, kau sudah menyelesaikan semua agenda meeting hari ini. Mr. Freddickson adalah yang terakhir," jawab Liam.

"Bagus. Aku ingin istirahat dulu sebelum penerbangan nanti, sebelum mengakhiri sesi main-mainnya." David menyeringai tipis.

Liam mengikuti pria itu keluar dari ruang kerjanya. Menuju lift khusus eksekutif, hingga menuju basement.

Sang supir membungkuk tanda hormat sebelum membukakan pintu, David pun segera masuk. Sedangkan Liam melalui pintu yang lain dengan membukanya sendiri.

Dan mobil bermerk salah satu brand besar itu, melesat membelah jalanan kota Manhattan yang cukup padat siang itu.

"Apa kau sudah menemukan keberadaan gundik kecil itu, Liam?" David membuka percakapan setelah cukup lama keheningan menyelimuti mereka.

Liam langsung menoleh ke samping kiri. Atasan sekaligus sahabatnya itu terlihat menyandarkan kepalanya sambil menutup mata. "Hey, dude! Koreksi diksimu, dia gadis baik-baik."

David mencibir. "Jika memang demikian, tidak mungkin ia akan berakhir di atas ranjang, dalam kungkunganku."

"Itu bukan kemauannya sendiri." Liam menyanggah dengan nada suara agak kesal.

Hal tersebut tentu saja membuat David tidak suka. Dengan tetap seperti posisi semula, pria itu menjawabnya dengan tenang, "Kenapa nada bicaramu seperti itu, Liam? Rupanya kau cukup dekat dengan gundik kecilku itu."

Liam baru saja meyadari bahwa seharusnya ia tak menjawabnya seperti itu. Atau lebih baik, sebaiknya ia tak menanggapi ucapan David mengenai Raina. Sial, bodoh!

Tapi Liam sangat bersyukur karena suara dering ponsel miliknya adalah penyelamat. Dengan segera, ia merogoh saku dalam jasnya. Di sana tertera salah satu utusannya yang ia tugaskan untuk melacak keberadaan Raina.

"Ya?"

"...."

"Katakan saja, jangan membuang waktu."

"...."

Liam sedikit melirik ke arah David, pria itu masih tetap dalam posisinya. "Kau yakin?"

"...."

"Baiklah, lanjutkan tugasmu." Ia menutup telpon.

Lagi-lagi, Liam melirik David yang tampak tenang dalam posisinya yang tidak berubah sedikit pun. Liam menghela napas, setidaknya ia masih bisa mengulur waktu sebelum pria di sampingnya itu naik darah atas informasi yang baru saja didapatkannya.

.
.
.
To be continued

The Duke's DarksideWhere stories live. Discover now