👹 BUHUL || Bab 01

960 79 50
                                    


Balasan dari Rasa yang Terpendam

👹👹👹

***

"Bu, Mas Dani ingin menemui Ibu."

Wajah cantik Rasmi semakin terpancar ketika tersenyum, tangan lentiknya mengupas lamtoro yang baru diambil di kebun belakang.

Hari ini Rasmi mengatakan kepada Ambar soal Dani yang akan datang ke rumah. Lelaki saleh itu mengatakan jika ingin serius dengan Rasmi, perbuatan baik memang tidak perlu ditunda. Rasmi menyukai Dani yang baik dan pekerja keras, meskipun lelaki itu anak yatim piatu bukan masalah bagi Rasmi.

Ambar menoleh ke samping, dia menatap Rasmi dengan raut terkejut. "Benarkah, Nduk. Memangnya, ada perlu apa Dani menemui Ibu?"

"Mas Dani bilangnya ada sesuatu yang penting."

"Ibu jadi penasaran," ungkap Ambar sembari tersenyum. Wanita baya itu meletakkan lamtoro di nampan, lekas menggeser tubuhnya fokus menatap Rasmi. "Ayo, cerita sama Ibu."

Senyum Rasmi semakin lebar, cekungan di pipi kirinya jelas terlihat. Ditatap Ambar seperti itu membuatnya rikuh untuk menceritakan kejadian dua hari lalu, dirinya pun tidak menyangka jika rasa yang terpendam di hati mendapatkan balasan.

Akan tetapi, yang ada di hadapannya adalah sosok Ibu. Jika bukan kepada Ambar, siapa yang akan mendengar ceritanya. Lekas Rasmi mengatur jantungnya yang berdebar, menghela napas beberapa kali sebelum mulai bercerita.

"Mas Dani bilang ingin serius dengan Rasmi, Bu. Kemudian Rasmi menjawab, akan menanyakan terlebih dahulu sama Ibu."

Ambar terkekeh pelan, dia mencubit pipi putrinya gemas. "Ternyata anak gadis Ibu sudah dewasa, sebentar lagi akan menikah."

"Ibu," panggil Rasmi. Lekas gadis itu menghambur ke pelukan Ambar. "Rasmi sayang sama Ibu. Ibu rela berkorban untuk Rasmi."

"Ibu juga sayang banget sama kamu, Nduk. Satu-satunya harta Ibu adalah kamu. Seperti katamu, apa pun akan Ibu lakukan untuk anak Ibu," jelas Ambar panjang.

Lentera kalbu yang sesungguhnya adalah sosok ibu, tanpa dirinya seorang anak bukanlah apa-apa. Pengorbanan, ketulusan dan kelembutan hatinya bisa membuat apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Demikian juga Ambar, dia lentera kalbu bagi Rasmi. Apa pun akan Ambar lakukan demi kebahagiaan anak tunggalnya bahkan setelah meninggalnya Sadewo. Ambar menjadi sosok ibu sekaligus bapak bagi Rasmi.

Pelukan hangat seperti itu akan selalu Rasmi butuhkan, usapan ringan di kepalanya membuat hati ikut menghangat. "Ibu akan merestui Rasmi sama Mas Dani 'kan?"

"Iya, Nak. Restu serta doa Ibu selalu mengiringi kalian."

Rasmi mendongak, dia menatap wajah Ambar. "Terima kasih, Bu. Doa Ibu selalu Rasmi butuhkan dan Ibu akan selalu menjadi Ibu Rasmi."

"Kata siapa begitu?" tanya Ambar dengan kening berkerut.

"Loh, 'kan memang begitu, meskipun Rasmi sudah menikah, Ibu tetap menjadi Ibuku."

Ambar menggeleng tidak terima. "Kamu harus berbagi karena suamimu, nantinya dia juga menjadi anak Ibu!"

"Mas Dani?"

"Lah, mau kamu sama siapa?" kata Ambar, "oh, atau mau sama Jaka?"

Sebuah pukulan Rasmi layangkan di paha Ambar, dia menatap lelaki berudeng yang baru saja lewat depan rumah mereka. Senyum terlihat di wajah Jaka, dia menyapa Ambar yang masih sibuk dengan lamtoro.

"Mau ke mana, Nak Jaka?"

Jaka menatap Rasmi menelisik, setelah itu pandangannya fokus ke arah wanita baya di sebelah Rasmi. "Biasa, Bu Ambar. Mau ke rumah Pak Panji."

"Alhamdulillah, Nak Jaka sekarang bekerja dengan Pak Panji, ya."

"Ya, begitu Bu. Lumayan bisa buat ngopi," jawab Jaka sopan. "Kalau begitu saya undur diri dahulu, ditunggu sama bos besar."

Ambar mengangguk mantap. "Oh, silakan Nak Jaka."

"Ibu," panggil Rasmi setelah menghilangnya Jaka.

"Apa."

"Mas Jaka itu anaknya Mbok Nem 'kan?"

Ambar mengambil keresek yang tersimpan di lubang dipan, dengan santai wanita baya itu memasukkan kulit lamtoro sembari menjawab, "Iya, kenapa memangnya?"

"Tidak apa-apa, tetapi sebagai anak. Mas Jaka sepertinya kurang memerhatikan Mbok Nem dengan baik."

Mendengar pendapat Rasmi, mata Ambar lekas menjegil. "Hus, ndak boleh ngomong begitu."

"Lah, memang iya. Rasmi pernah lihat Mbok Nem mengambil jambu yang jatuh di halaman rumah kita, itu kotor 'kan Bu," jelas Rasmi. "Pasti saat itu beliau kelaparan."

"Mungkin saja waktu itu Mbok Nem ingin makan jambu, kita tidak boleh berburuk sangka sama orang," sahut Ambar membungkam perkataan Rasmi.

***

Matahari telah bergeser ke barat, menorehkan semburat merah yang elok di mata. Beberapa kelelawar terbang rendah, menyambut malam dengan penuh semangat. Begitupun dengan Dani yang siap pergi ke musala, baju koko, sarung hitam serta kopiah, itulah penampilannya setelah selesai bekerja.

Selain menggarap ladang cabai milik kepala dusun, Dani juga menjadi muazin serta guru mengaji di Musala Baiturrahim. Warga sekitar menghormati lelaki itu sebagai ustaz, tetapi dia menolak jika para warga memanggil dengan sebutan tersebut. Dani merasa ilmu agama yang dimiliki belum memadai, meskipun belajar bersama almarhum bapaknya yang seorang guru mengaji.

Letak Musala Baiturrahim tidak terlalu jauh dari rumahnya, hanya terhalang beberapa rumah warga. Dani mengikis jarak tersebut dengan santai, tawa anak-anak terdengar seperti biasa. Mereka asyik bermain, sesekali mengejar satu sama lain membuat senyum tercetak di wajah Dani.

"Anak-anak ayo ke musala, sebentar lagi Maghrib."

Salah satu anak perempuan berhenti, dia menatap Dani sembari bertanya, "Mas Dani, apa nanti membaca tahlil seperti biasanya?"

"Iya, Fatma. Hari ini Kamis, nanti setelah salat Maghrib kita baca bersama-sama, ya," jelas Dani dengan senyuman.

Fatma tersenyum, dia segera berlari mengejar teman-temannya. Begitupun Dani, lekas melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Terlihat tempat suci itu berdiri dengan kukuh, meskipun tidak terlalu luas cukup untuk berjamaah warga sekitar dusun.

Beberapa saat kemudian, gema azan terdengar. Dani menyerukannya sebaik mungkin, suaranya yang lembut membuat suasana sekitar tampak tenang. Semenjak meninggalnya Abdullah, Dani diperintahkan untuk menjadi muazin. Hatinya bergetar ketika mendengar permintaan orang tuannya, tanpa ragu lelaki itu mengangguk dengan tulus tanpa imbalan.

"Sudah siap, Nduk?" tanya Ambar.

Rasmi lekas keluar kamar, dia berlari kecil mendekati Ambar yang menunggu di teras. Langkah demi langkah membawa mereka menapaki jalan kecil menuju musala, merdu pujian yang dilakukan anak-anak membuat suasana dusun Lawangan tampak ramai juga damai.

"Nanti bilang sama Dani, Ibu menunggu niat baiknya."

***







Bab pertama selesai.

Bagaimana menurut kalian? Semoga suka, ya. Jangan lupa untuk vote dan komennya.

Awal parade
Jombang, 20 Agustus 2022

Penulisan ulang
Jombang, 8 februari 2024

Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now