👹 BUHUL || Bab 14

366 47 13
                                    


Kabut Emosi

👹👹👹

Selamat membaca

***

“Kurang ajar!”

Prang!

Tangan Panji menyapu guci-guci antik miliknya yang ada di meja nakas. Sekali empasan, barang mahal itu hancur berkeping-keping. Sungguh demi apa pun, hatinya sakit ketika mendengar penolakan Rasmi.

Kepercayaan dirinya yang tinggi seakan ikut berceceran bersama guci tersebut, mengotori lantai dan pada akhirnya tidak bisa kembali ke bentuk semula.

Lelaki itu tidak menyangka jika Rasmi menolak ajakannya untuk menikah, kurang apa seorang Panji yang memiliki segalanya? Kedudukan, harta bahkan rupa pun tidak buruk.

Tampak tangannya terkepal kuat, otot-otot menyembul hingga bantingan keras tidak terelakkan membuat kotak cincin itu patah menjadi dua.

Tidak lagi dihiraukan seberapa berharganya benda tersebut. Mata hatinya telah terselimut oleh kabut tebal bernama emosi. Pada akhirnya emosi itu merangkak menuju dendam yang harus dibalaskan.

Tanpa Panji pahami jika dendam dan emosi bersatu maka akan membawa pada kehancuran diri sendiri.

“Jika aku tidak bisa memiliki Rasmi maka lelaki lain pun tidak akan bisa memilikinya!”

Seperti mendapatkan serangan panik, Panji berjalan ke sana kemari sembari menjentikkan jemari tangan.

Kening berkerut serta napasnya memburu, terlihat keringat lolos dari pelipis tanpa halangan.

“Jaka? Apa lelaki itu bisa membantu aku lagi?” gumam Panji.

Langkahnya berhenti tiba-tiba, tidak mungkin dia kembali menyuruh Jaka melenyapkan Rasmi. Dia yakin pasti lelaki itu menolak tegas.

Panji berusaha untuk menenangkan diri, dia berjalan menuju kursi ruang tamu dengan napas teratur.

“Tidak,” ujarnya menatap ke depan tanpa ujung. “Pujaan hatiku tidak boleh lenyap dengan mudah.”

👹BUHUL👹


“Bu!” Rasmi masuk ke rumah Ambar tergesa-gesa, tidak ada sapaan salam seperti biasanya. Mungkin sangking paniknya wanita itu, terus memanggil ibunya. "Bu ... Ibu!"

Wajah Rasmi sembab terlihat masih terguncang. Kedua netra itu juga berkaca-kaca, dia merasa jika kejadian tadi sama saja menghianati sang suami.

Ambar yang selesai melaksanakan salat Isya, lekas meletakkan mukena begitu saja. Dia menyibak kelambu kamar hingga netranya bertemu dengan keadaan Rasmi yang kacau.

“Rasmi,” panggil Ambar, “ada apa, Nduk?”

Rasmi meraih kedua tangan Ambar, dia meremas kuat membuat wanita baya itu sadar jika ada sesuatu yang baru saja terjadi.

“Bu, Pak Panji datang ke rumah.”

“Pak Panji datang ke rumah?” kata Ambar mengulang. “Untuk apa?”

“Dia melamar Rasmi, Bu!” sentak Rasmi diiringi dengan tangisan.

Sebelah tangannya membungkam agar tangisan itu tidak lolos dengan keras. Namun, serapat apa pun berusaha menahan dia tetap terisak-isak.

Wanita itu tidak menyangka kedatangan Panji ke rumahnya dengan tujuan melamar. Itu sangat mengejutkan.

Tentu emosi Rasmi terusik, baru dua Minggu sang suami meninggalkannya. Hatinya masih berkabung bahkan tanah pengkuburan pun masih basah.

Buhul || TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang