👹 Buhul || Bab 24

288 32 5
                                    

Gumpalan Asap

Selamat membaca

👹👹👹

***

Pak Wisnu menelisik kamar Rasmi setelah Ambar berpamitan untuk berwudu, ruangan itu cukup sempit ketika mereka masuk ke dalam secara bersamaan.

Tidak banyak perabotan yang ada, hanya ranjang cukup dua orang, almari kayu di sisi kanan serta meja kecil di bawah jendela.

Tidak lama lelaki itu menatap Bu Ratna, berjalan mengikis jarak karena teringat tentang burung yang ditinggal begitu saja. Sampai di samping sang istri, lekas dia menjawil sembari berkata, "Bapak mau pulang, dulu."

"Loh, ngapain pulang?!"

"Bapak ingat tadi belum menggantung si Tejo," kata Pak Wisnu menyebut nama burung kenari peliharaannya.

Mendengar perkataan suaminya, Bu Ratna tampak mengernyit. "Ya, terus?"

"Ya, Bapak mau pulang dulu," ujar Pak Wisnu menghela napas malas. "Mau selamatkan Tejo, nanti disantap sama kucing, mati aku."

Kedua alis Bu Ratna tampak menukik, dia melirik Rasmi dengan raut ketakutan. Siapa yang berani ditinggal sendiri sama orang, entah bisa dikatakan kesurupan atau tidak. "Bapak serius mau ninggalin Ibu di sini sendiri?!"

"Kan ada Ambar, sebentar, kok. Hanya menggantung si Tejo, setelah itu balik lagi."

Bu Ratna tampak jengkel melihat Pak Wisnu yang santai dengan hal ini, apa lelaki itu tidak melihat suasana yang mengerikan.

Sejak memijakkan kakinya di rumah peninggalan Dani, Bu Ratna merasa hawa yang tidak enak. Suasananya sangat suram, apalagi keadaan gerimis membuat hawa semakin mencekam.

"Bapak ini, loh!" sentak Bu Ratna sembari mencubit lengan sang suami.

"Aduh! Apa, to, Bu. Kok, main cubit-cubit!"

Bu Ratna tampak menelisik seluruh kamar, kemudian berhenti di ranjang yang mana di sana terdapat sang pemilik rumah. Keadaannya masih sama, tidak berubah sejak perginya Jaka untuk memanggil Mbah Karim.

Wajah pucat dengan netra melotot membuat Bu Ratna bergidik ngeri, wanita itu sangat anti dengan hal-hal yang seram jika sampai sang suami pergi maka dia di sini sendirian. Apalagi Ambar cukup lama pamit melaksanakan salat, sampai sekarang belum balik juga.

"Sudah, ya, Bapak pulang," sahut Pak Wisnu sembari berlalu.

Bu Ratna tentu saja memanggil Pak Wisnu, tetapi lelaki itu tidak menggubris. Setelah perginya sang suami, Bu Ratna dengan pelan menelisik kembali kamar tersebut. Sungguh hatinya sangat tidak tenang, dia merasa ada sesuatu yang mengintainya sejak tadi.

"Duh, Mbak Ambar ini lama sekali," gumamnya dengan tangan saling meremas.

Wanita baya itu mencoba menenangkan dirinya, dia ingat jika tadi Jaka sempat menyuruh untuk membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Segera di dalam hati dia membaca surat yang diingat, yaitu Al-Ikhlas.

Dug!

"Eh," sahut Bu Ratna pelan sembari menoleh ke samping kanan.

Di sana terdapat jendela yang tertutup kelambu, wanita baya itu melihat hujan turun semakin deras. Percikan airnya sampai membasahi kelambu, lantas dia bangkit untuk menutupnya.

Lagi-lagi telinganya mendengar suara aneh, suara itu seperti benda jatuh. Setelah menelisik keadaan kamar, dia tidak menemukan benda apa pun yang tergeletak di lantai.

Entah kenapa, netranya memaksa melihat ke lemari, tampak kunci yang menggantung di sana bergerak kencang.

Dug, dug, dug!

"Astagfirullah!" Bu Ratna terlonjak kala melihat lemari itu bergetar pelan, suara tersebut ternyata berasal dari sana.

Jantungnya seakan terlepas ketika pintu tiba-tiba terbuka, bunyi deritnya membuat wanita baya itu mundur hingga punggungnya menempel ke tembok.

Bu Ratna melihat sela-sela pintu yang tampak gelap, hanya bertumpuk-tumpuk baju yang tertata dengan rapi.

Sadar akan keadaan, dia lekas berlari untuk menjangkau pintu kamar. Saat itu juga Ambar datang dengan wajah segar, dia kaget ketika melihat raut Bu Ratna yang ketakutan.

"Ada apa?!"

Napas Bu Ratna tersengal-sengal, dia meremas kedua lengan Ambar berusaha mengutarakan apa yang baru saja dia alami.

Kendati menjelaskan, suara istri Pak Wisnu terdengar gagap. Bersama dengan itu ketukan pintu serta salam membuat Ambar lekas menjawabnya.

👹BUHUL👹

Hujan menerjang bumi yang merindukan belaiannya, tenang tanpa gemuruh serta angin yang biasa menemani. Meskipun begitu, membuat bahu Jaka tetap basah. Dia terpaksa satu payung dengan Arip karena Mbah Karim hanya memiliki dua payung.

"Assalamualaikum," ucap Pak Amin.

Lelaki yang menyandang gelar ketua RT itu lekas masuk, dia ingin sekali melihat keadaan Rasmi. Bersama itu juga Wandi, Ruslan, Arip serta Pak Wisnu mengikuti dari belakang.

Tadi ketika dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Wandi dan Ruslan. Berbekal mulut Arip yang licin membuat keduanya ikut serta dalam rombongan.

Jaka menurunkan payungnya, mempersilakan Mbah Karim untuk masuk. "Monggo masuk, Mbah sudah ditunggu sama yang lain di dalam."

Lama tidak ada sahutan, lelaki berudeng itu segera menoleh ke belakang. Tampak Mbah Karim berhenti di halaman rumah Rasmi, dia menelisik pohon sawo yang tampak menjulang meskipun tidak terlalu rimbun.

"Mbah," panggil Jaka.

Mbah Karim menoleh, dia kembali berjalan dengan perlahan. Menginjak usia 70 tahun lebih, badannya masih tampak bugar. "Saya benar-benar merasakan aura negatif di rumah ini."

"Apa Mbah Karim melihat sesuatu?"

Mbah Karim mengangguk, dia menunjuk dengan dagunya ke arah pohon sawo sembari berkata, "Ada asap di sana, juga aroma busuk yang menyengat."

***


👹BUHUL👹









Sugeng dalu, dulur.
Bagaimana puasa hari ini, semoga lancar, ya.

Seperti biasa, jangan lupa vote dan komennya.
Terima kasih.
🖤




Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now