👹 BUHUL || Bab 09

404 57 13
                                    

Daun Kelor

👹👹👹

Selamat membaca.

***


Seperti biasa, Mbok Nem duduk di bawah pohon jambu. Dari sana rumah Dani kelihatan mengintip, wanita tua itu terlihat sedih menatap rumah tersebut yang ramai warga.

Seperti putranya, dia tidak menyangka jika lelaki sebaik Dani semudah itu untuk binasa. Dia juga menyesal tidak bisa membantu banyak. Usahanya kemarin gagal hanya untuk memperingati agar Dani berhati-hati.

Ingat ketika Mbok Nem muncul tiba-tiba saat Dani berangkat ke musala waktu Subuh? Wanita tua itu menghadang jalan Dani dengan raut ketakutan. Dia berusaha memberi tahu Dani agar berhati-hati atau lebih baik tidak berangkat bekerja.

Ada alasan tersendiri kenapa dirinya begitu, hatinya curiga jika Panji akan melakukan hal buruk kepada Dani.

Banyak yang mengatakan dirinya aneh, apalagi penampilannya yang berantakan menjelaskan semua. Namun, sebetulnya Mbok Nem dalam keadaan waras, ada suatu hal yang memaksa menjadi seperti sekarang.

Malam itu dia bermaksud mencari sang putra, perasaan ibu memang tidak bisa dielakkan. Biasanya jam 10 malam Jaka sudah ada di rumah. Malam itu, keadaan rumah sepi maka datanglah beliau ke pos ronda. Sayangnya, putranya pun tidak ada di sana.

Naluri mengatakan dia harus pergi ke rumah Panji, yakin jika anaknya ada di sana. Semenjak Jaka bekerja dengan lelaki itu, Mbok Nem merasa tidak tenang meskipun sang putra hanya diperintahkan untuk mengurus ladang. Wanita tua itu tidak serta-merta percaya lantaran dia tahu di balik dermawannya Panji ada sisi jahat yang terpendam.

👹__BUHUL__👹

Beberapa wanita baru saja pulang dari melayat, mereka berjalan dengan santai sembari berbincang-bincang.

"Loh, saya kok tidak tahu kalau Bu Ali ikut mencari Mas Dani tadi pagi?" tanya Bu Dini dengan kening berkerut.

"Kalau saya tidak dikasih tahu sama Bapaknya si Zaki mana tahu, Bu Dini."

Bu Ningsih yang ada di antara mereka lekas bertanya, "Kata Mbak Dewi, yang menemukan jasad Mas Dani itu Mbak Yuni, ya?"

Bu Ali mengangguk, wanita itu menceritakan kejadian tadi pagi ketika Mbak Yuni menemukan jasad Dani yang terbujur di bawah pohon asem. Dia juga menambahkan jika jasad Dani sudah kaku serta di kerumuni serangga.

"Ih, kok ngeri," ungkap Bu Dini bergidik.

Bu Ningsih menarik lengan kedua temannya agar berhenti sejenak, sebelum berkata dia melihat sekelilingnya dalam keadaan sepi. "Setahu saya, kalau meninggalnya tidak wajar pasti menjadi arwah penasaran, Bu."

"Masa sih, Bu Ningsih? Jangan menakut-nakuti saya, dong. Apalagi, saya melihat jelas jasad Mas Dani."

"Kebanyakan begitu, Bu Ali. Mas Dani 'kan meninggalnya tidak wajar," jelas Bu Ningsih.

Bu Dini menghela napas pelan, dia mengibaskan tangannya seakan tidak percaya. "Halah, mitos itu. Lagian, Mas Dani orangnya baik, muazin, pintar mengaji. Bisa saja ketika bekerja dia jatuh atau apa gitu yang membuat beliau meninggal."

Bug!

"Aduh!" pekik Bu Ningsih, kemudian memegang punggungnya yang terasa sakit. Dia merasa jika ada seseorang yang melemparnya dengan sesuatu. Ketika melihat ke bawah, tampak jambu air menggelinding tidak jauh darinya.

Mereka bertiga lekas bertatapan, raut ketakutan jelas terlihat. Mereka menerka apa yang baru saja terjadi sangatlah tidak mungkin. Lantaran pohon jambu yang tumbuh di halaman rumah Ambar, cukup jauh dari posisi mereka berhenti.

"Bu, saya merinding, ih!" sentak Bu Ali.

Tidak menunggu lama, sekumpulan ibu-ibu itu lekas berlari terbirit-birit. Mereka menyangka jika kejadian baru saja adalah salah satu dampak dari membicarakan Dani. Padahal tanpa  mereka sadari, ternyata Mbok Nem yang melempar jambu tersebut agar ibu-ibu itu tidak membicarakan Dani yang macam-macam.

👹__BUHUL__👹


"Oy, Jak. Cari daun kelor, jangan belok ke warung!" sentak Arip.

Lelaki tambun itu agaknya tidak memerhatikan suasana duka, selalu saja ada kejadian yang membuat Jaka kesal.

Wandi langsung menepuk kasar punggung Arip. Lelaki itu menatap tajam sembari berkata, "Suaramu seperti geledek, tidak tahu kalau keluarga Bu Ambar sedang berkabung."

"Maaf, keceplosan."

Jaka lekas pergi meninggalkan mereka, dia menyusuri jalan menuju rumah Panji. Terpaksa lelaki itu harus ke sana untuk meminta beberapa batang daun kelor.

Sejenak rasa heran berkelebat di pikirannya, merasa aneh saja kenapa di dusun Lawangan hanya rumah panji yang mempunyai pohon tersebut.

Tidak menunggu lama Jaka sampai di depan rumah sang kepala dusun, baru saja dia akan menjejakkan kaki di teras. Namun, Panji lebih dahulu keluar dengan pakaian rapi seperti biasa. Melihat anak buahnya datang, lelaki itu lekas tersenyum bangga.

"Wah, pahlawanku!" sentak Panji. Dia berjalan mendekati Jaka, sampai di sana dia menepuk pundak lelaki berudeng itu beberapa kali.

"Pak, saya mau meminta-"

"Aku tahu," putus Panji, "mau meminta daun kelor 'kan."

Panji menemani Jaka mendekati pohon kelor yang tumbuh di sisi timur rumahnya, tidak ada pembicaraan yang berarti di antara mereka. Setelah mematahkan dua batang kelor serta bidara, Jaka segera pamit.

Akan tetapi, Panji menahan langkahnya membuat lelaki itu menahan napas.

"Aku sangat lega sekali, kamu bisa diandalkan, Jaka." Panji tersenyum.

Lelaki yang mendapat sanjungan itu menatap pituwo dusun Lawangan dingin, kemudian ikut melihat arah tujuan Panji yang mana menuju ke arah ladang. Tampak pohon asem berdiri kukuh di antara luasnya tanaman cabai, daun-daunnya bergerak seiring angin berembus kencang.

"Apakah, Bapak melihatnya?" kata Jaka. "Maksud saya sebelum pagi tadi."

Panji mengangguk mantap. "Keinginan diriku melihat Dani sekarat membuat aku datang ke ladang semalam. Ya, meskipun sampai di sana Dani sudah wafat, itu tidak masalah."

Panji berbalik, dia menatap Jaka yang sedang berpikir keras. Jelas sekali wajah anak buahnya yang tegang seperti ada sesuatu yang disembunyikan.

"Kenapa?"

"Tidak ada, Pak. Saya sudah ditunggu yang lain," kata Jaka pergi meninggalkan Panji.

"Kamu meninggalkan saya, Jaka," ungkap Panji.

Jaka terpaksa menghentikan langkahnya kembali, kemudian berbalik menatap bosnya itu sembari bertanya, "Maksudnya?"

"Aku juga ingin melayat, mengantar Dani ke rumah terakhirnya."

Jaka menatap punggung Panji, terlihat lebar serta terlihat tidak terkalahkan. Begitu apik bos besarnya melakukan sandiwara ini bahkan warganya saja menghormati Panji layaknya kepala dusun yang dermawan.

👹__BUHUL__👹

JEJAKNYA, TEMAN-TEMAN👋

***

Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now