👹 Buhul || Bab 19

352 40 25
                                    


Bukan Bercak Kopi

Selamat membaca

👹👹👹

***

Goresan senja di langit barat terlihat elok di pandang netra. Kepakan sayap kelelawar yang terbang rendah menyambut suka cita hari yang pelan berganti.

Sungguh, itu salah satu pesona alam yang begitu disukai oleh Rasmi. Sejak dahulu dia selalu berdiri di balik jendela, melihat goresan jingga dilangit dari sore menuju malam untuk mensyukuri keindahan yang Tuhan ciptakan.

Senja menjadi suatu yang patut disyukuri. Tidak hanya indah, tetapi juga bisa menenangkan hati.

Berbeda dengan hari ini. Rasmi sejak kemarin merasakan badannya meriang, dia selalu menggigil saat malam menjelang datang.

Seperti sekarang, wanita cantik itu lebih memilih mendekati lemari pakaian. Sehelai jaket yang cukup tebal lekas membungkus tubuh mungilnya, dia mengira jika mengenakan jaket milik almarhum sang suami bisa menghangatkan tubuhnya.

Namun, getaran di tubuh tidak lekas menghilang. Padahal hari ini dia ingin sekali mengikuti acara rutin di Musala Baiturrahim. Para warga akan tahlilan bersama setiap hari Kamis malam Jumat.

Biasanya tahlilan tersebut berlangsung setelah salat Maghrib, melihat jam yang menunjukkan pukul 5 lebih 30 menit maka azan sebentar lagi berkumandang.

Berselimut jaket milik Dani, Rasmi berjalan meninggalkan kamar. Dia menutup jendela yang ada di ruang tengah, begitupun dengan ruang tamu. Setelahnya lekas dia menekan saklar lampu, membuat cahaya dari neon 10 Watt menerangi rumahnya.

Tidak lama kemudian, gema azan Maghrib terdengar lantang. Bersama dengan itu Rasmi merasakan perutnya melilit, keningnya berkerut ketika sakit yang dirasakan semakin menjadi. Kedua kakinya lunglai membuat tubuh lemah itu langsung terjerembap ke lantai.

Rintihan terdengar samar di antara lantunan demi lantunan azan Maghrib. Tidak tinggal diam, Rasmi lekas meremas perutnya. Memijat pelan dari pinggang, punggung serta kembali ke bagian perut.

"Kenapa perutku sakit sekali, Ya Allah, " gumamnya.

Rasmi terus memberikan pijatan di sana, kedua netranya berlinang sebagai tanda kesakitan yang amat sangat.

Mendadak dia merasakan perutnya bergejolak, seakan bagian dalam tubuhnya diremas dan diaduk-aduk paksa. Hingga sesuatu dengan cepat menuju kerongkongan, rasa kental serta hangat membuat dia refleks mengeluarkan secara gesit.

"Huek!"

👹BUHUL👹

"Ke musala, Bude?" tanya Mbak Marni ketika melihat Ambar menutup pintu rumah.

Wanita baya itu mengangguk, setelah memastikan pintu tertutup rapat lekas dia menuruni beberapa undakan. Senyum keibuan selalu singgah di wajahnya yang mulai menua, segera dia mengajak Mbak Marni untuk berangkat ke musala bersama.

"Dua hari ini aku tidak bertemu dengan Rasmi, Bude," kata Mbak Marni di sela-sela langkahnya.

"Senin malam, dia tidur di rumahku. Mungkin, besok dia akan datang."

Membicarakan soal putrinya, Ambar menjadi kepikiran. Biasanya tiga hari sekali Rasmi selalu mengunjungi dirinya, seharusnya tadi pagi. Sayangnya, sang anak tidak datang.

Pikiran seorang ibu memang sangat sensitif, dia takut terjadi apa-apa dengan putrinya. Rencana setelah salat Maghrib Ambar akan mengunjungi Rasmi. Biarlah harus absen tahlilan rutin, perasaannya sudah tidak karuan sebelum melihat keadaannya secara langsung.

Cukup lama menunggu doa selesai salat Maghrib, setelahnya Ambar lekas menjawil lengan Mbak Marni sembari berkata, "Mar, aku ke rumah Rasmi dahulu."

"Bude mau ke rumah Rasmi," kata Mbak Marni. "Memangnya ada apa, Bude?"

"Sepertinya anak itu tidak jemaah, aku takut terjadi apa-apa," jelas Ambar.

Sejak tadi fokus Ambar buyar, dia meyakini jika bertemu dengan Rasmi di musala. Akan tetapi, keyakinannya itu luruh saat tidak ada tanda-tanda kemunculan putrinya. Perasaan khawatir semakin membumbung tinggi, dia harus menemui anak itu sekarang juga.

Langkah tegas membawanya menyusuri jalan menuju rumah peninggalan Dani, sesekali dia akan mengangguk ketika beberapa tetangganya menyapa.

Pohon sawo yang tumbuh di halaman tampak menjulang gagah. Ambar mengernyitkan kening ketika pintu rumah masih tertutup rapat. Padahal biasanya setelah Maghrib, putrinya selalu membuka kembali pintu tersebut.

"Nduk!" panggil Ambar. "Assalamualaikum."

Rasmi menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara yang dikenali, dia tidak menyangka jika Ambar datang menemuinya.

Tangan yang memegang sehelai kain tampak bergetar, secepat mungkin dia membersihkan bekas di ubin. Setelah selesai, sekali lagi wanita itu menelisik dengan jeli. Dia tidak mau sampai ibunya tahu keanehan yang terjadi dengannya.

"Assalamualaikum, Rasmi!" Ambar kembali mengucapkan salam ketika sekali tidak membuat putrinya datang. Dia pun mencoba menekan gagang pintu, ternyata tidak terkunci.

Bersama itu juga Rasmi menyibak kelambu yang menjadi pembatas ruang tengah, dia tersenyum begitu melihat Ambar.

Netra tua milik wanita baya itu menelisik penampilan Rasmi yang amat kacau, wajah pucat, area bawah mata yang menggelap serta keringat tercetak di kerudungnya membuat Ambar khawatir.

Apa yang dia takutkan benar-benar terjadi, putrinya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Lekas Ambar mengikis jaraknya dengan Rasmi, dia menyentuh bahu yang masih terlapis jaket tebal.

"Kamu sakit?!" sahut Ambar dengan mata berkaca-kaca, bibirnya kelu melihat keadaan putrinya seperti itu. " Kenapa tidak bilang sama Ibu?!"

Rasmi masih bisa tersenyum meskipun tipis, bibir pucatnya bergetar terharu dengan kekhawatiran sang ibu. "Rasmi tidak apa-apa, hanya kehujanan kemarin."

"Ya Allah, Nduk. Meskipun begitu, kamu harus bilang sama Ibu. Bagaimanapun juga Ibu khawatir, Rasmi!"

Ambar menuntun Rasmi untuk masuk ke dalam, dia menyuruh agar putrinya istirahat. Namun, pandangan mata Ambar melihat ke bercak di kerudung instan yang Rasmi kenakan.

"Kerudung kamu kenapa, Nduk?" tanya Ambar dengan kening berkerut.

Rasmi kaget, dia menunduk melihat ke arah kerudungnya. Tampak bercak darah jelas karena warna terang kerudung yang dia kenakan, segera Rasmi memasukkannya ke dalam jaket sembari menggeleng.

"Tadi terkena kopi."

"Kopi?" tanya Ambar, keningnya berkerut menandakan kalau wanita baya itu tidak lekas percaya.

👹BUHUL👹















Sahur... Sahur!

Semoga puasa ketiga kali ini lancar ya, Teman-teman, semangat✊🏻✊🏻

Selamat membaca.

Jangan lupa berikan tanggapan kalian, ya.

Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now