👹 BUHUL || Bab 02

580 76 40
                                    

Incaran Kaum Adam

👹👹👹

Selamat membaca!

***

Suara mesin jahit klasik terdengar di ruang tengah Ambar. Kakinya sibuk mengayuh agar mesin tersebut bisa bergerak, kemarin Bu Wati meminta agar Ambar membuat saku di gamis. Beberapa baju milik tetangga yang lainnya juga sudah selesai, lumayan hasil yang diperoleh bisa untuk membeli beras.

"Assalamu'alaikum."

Suara salam membuat gerakan Ambar terhenti, dia lekas berjalan ke depan untuk menemui tamu yang datang pagi ini. Disibaknya kelambu pembatas ruangan, tampaklah Dani berdiri di ambang pintu. Lelaki berkopiah itu sibuk merapikan bajunya, padahal jika Ambar lihat penampilan Dani sudah rapi seperti biasa.

"Waalaikumussalam. Nak Dani, mari masuk."

Dani mengangguk sopan, dia masuk dan duduk di kursi rotan yang tersedia. Rumah Ambar memang sederhana, lantai pun masih terbuat dari ubin semen. Sebagian dinding mengelupas membuat warna sebelumnya terlihat.

Kedua tangan Dani saling menguatkan, dia gugup ketika harus berhadapan dengan Ambar sendiri tanpa kedua orang tua. Keinginan untuk melaksanakan sunah Rasulullah semakin mantap, dirinya juga cukup mampu untuk berumah tangga.

Ketika melihat Rasmi hatinya tersentuh, entah apa alasannya Dani tidak paham. Dia hanya mengikuti kata hati bahwa Rasmi wanita yang tepat untuk dirinya.

"Begini, Bu. Sebenarnya ada hal yang ingin saya katakan, ini tentang anak Ibu, Mbak Rasmi," ungkap Dani dengan sopan.

"Memangnya kenapa dengan anak saya, Nak Dani? Apa Rasmi ada salah dengan Nak Dani?"

"Tidak, Bu. Bukan itu maksud saya datang kemari," sahut Dani tegas.

Kening Ambar mengernyit, dia menatap Dani yang jelas terlihat gugup. Wanita baya itu memang ingin menguji, seberapa berani lelaki yang duduk di depannya ini. "Lantas apa?"

"Izinkan saya meminang anak Ibu, saya sudah siap lahir batin untuk melaksanakan sunah Rasulullah. Apakah Ibu mengizinkan?"

Jantung Rasmi berdebar cepat, dia berada di balik dinding ruang tengah. Suara Ambar dan Dani terdengar dari sana, bukan maksud dia menguping.

Namun, sepulang dari mengantar baju. Dia tidak melihat Ambar di ruang tengah, ketika mempersempit jaraknya dengan ruang tamu. Tiba-tiba dia mendengar Ambar berbicara dengan seseorang.

Dani pernah melihat senyum yang Ambar tampilkan, beberapa tahun yang lalu sang ibu juga selalu menampilkan senyum tulusnya. Kegugupan yang menyelimutinya perlahan hilang, dia akan menerima apa pun yang akan menjadi keputusan Ambar juga Rasmi.

"Tujuan Nak Dani datang sangat baik, Ibu menerimanya. Namun, tetap saja yang memutuskan hanya Rasmi," jelas Ambar, "biar saya berbicara dengan Rasmi, apa Nak Dani bisa tunggu sebentar?"

"Iya, Bu. Saya siap menunggu juga siap mendengar jawaban dari Rasmi."

Rasmi mendengar langkah Ambar yang masuk ke dalam, kelambu pembatas terlihat bergerak. Ambar tampak celingukan mencari anak gadisnya, tetapi sentuhan di lengannya membuat wanita baya itu berjingkat pelan.

"Nduk, kamu membuat Ibu kaget," sahut Ambar sembari menyentuh dadanya.

"Maaf Bu," jawab Rasmi bersalah. Dia menarik Ambar menuju dapur. "Apa Mas Dani serius melamar Rasmi?"

Ambar tersenyum, dia mengusap rambut Rasmi yang tergerai indah. "Iya, Ibu menerima niat baik Dani. Sekarang, Ibu butuh jawaban dari kamu karena kamu yang menjalankan kehidupan berumah tangga."

Senyum menghiasi wajah Rasmi, dia sudah memantapkan hatinya untuk menerima Dani sebagai imam. Dia percaya jika Dani bisa membimbing dan menjaga dirinya dengan baik

"Bagaimana?" tanya Ambar memastikan sembari sibuk membuat teh untuk sang tamu.

***

Denting sendok beradu dengan piring, Jaka tampak lahap menjejali lambungnya dengan nasi lodeh. Sesekali lelaki berudeng itu berbicara dengan tetangganya yang juga sedang berada di warung.

"Eh, Jak. Bagaimana, enak apa tidak bekerja dengan Pak Panji?"

Jaka menoleh ke arah Ruslan, setelah menelan dia menjawab, "Ya, begitu. Namanya kerja ya, ada enak dan tidak enaknya."

"Ada tidak enaknya juga, to. Aku kira, bekerja dengan Pak Panji bisa ikutan kaya."

"Gundulmu, aku itu bekerja bukan jadi istrinya yang selalu dapat jatah sebulan sekali!"

Jaka baru saja selesai makan, dia mengambil segelas air lekas meminumnya hingga tandas. Tidak lama kemudian suara sendawa terdengar, beberapa orang yang ada di sana mendengkus jengkel.

"Lagian, Pak Panji sudah umur kenapa belum menikah. Duit banyak, jadi kepala dusun pula," ungkap Wandi heran.

"Ya, tidak tahu. Bos Panji tidak pernah cerita apa-apa sama aku, sedangkan aku ini hanya disuruh mengurus ladang cabai miliknya."

Arip menghela napas, dia menatap Jaka yang sibuk mengusap perut. "Aku kira kamu tahu segalanya, Jak."

"Kalian kira aku paranoral, tahu segalanya!" sentak Jaka, "jangan ngomongin orang, tidak bisa buat kalian kaya juga."

Wandi terkekeh, dia menarik lengan baju milik Jaka sembari berkata, "Bayar kopi kita napa, Jak. Sekali-kali berbuat baik, aku lihat kamu jarang sedekah, loh."

"Ambil apa saja yang kalian mau."

"Serius, Jak?" tanya Ruslan.

Jaka menggerakkan tangannya, dia menunjuk makanan yang ada di warung Mak Siti. "Berhubung aku orangnya baik, ambil saja biar nanti aku yang bayar."

Jaka tidak hanya terkenal sebagai anak Mbok Nem, semenjak dia dipercaya mengurus ladang cabai milik Panji. Lelaki yang selalu mengenakan udeng itu semakin terpandang.

Seringkali dia mendapati beberapa tetangganya meminta dibayari makanan. Jaka yang memang baik, secara cuma-cuma akan mengiyakan permintaan kawan-kawannya.

Mendengar sorak senang mereka, Jaka lebih memilih ke luar warung. Angin menerpa ketika dirinya baru duduk di amben, jalan dusun masih ramai anak-anak yang bermain meskipun jam sudah menunjukkan pukul 9 malam.

Netra tajam Jaka melihat Rasmi keluar dari rumah Mbak Marni, tidak lama kemudian gadis itu masuk rumahnya. Sayup dia mendengar ketiga temannya sibuk membicarakan gadis itu, tidak menampik karena kecantikan Rasmi menjadi incaran kaum adam dusun Lawangan.

"Duh, Rasmi itu memang cantik. Adem banget kalau melihat senyumannya," kata Ruslan.

Wandi mengangguk setuju, lelaki itu memesan nasi campur. Rezeki nomplok datang di saat sakunya tidak berpenghuni, kapan lagi dia pulang dalam keadaan kenyang karena biasanya Wandi hanya memesan kopi atau makan dua gorengan saja.

"Iya, beruntung sekali yang menikah dengannya nanti."

Arip menghela napas pelan. "Kira-kira dia mau sama aku apa tidak, yo?"

"Aku yakin," kata Ruslan terkekeh pelan, "yakin banget, kalau Rasmi lebih memilih jadi perawan tua daripada nikah sama kamu!"

Tanpa terasa waktu berjalan semakin larut, gelak tawa mereka membuat suasana dusun semakin hidup. Sesekali terdengar serangga yang mengiringi canda tawa mereka juga bintang yang bertebaran indah.

***











Hai, pembaca!
Bagaimana perasaan, kalian?
Semoga selalu bahagia, ya.
Nikmati saja hidup ini, kawan-kawan.
Boleh dirasakan, tetapi seperlunya saja.
Karena dari kehidupan pasti banyak pahitnya.
Betul, nggak, sih?
Kita juga butuh bahagia😄
Ets, ralat.
Kita harus bahagia🥰
Semangat, menjalani kehidupan sementara ini para kalian👋

Seperti biasanya, semoga Bab 2 ini menghibur, ya. Jangan lupa kasih aku semangat dengan vote dan komen, Terima kasih🙏👋sampai jumpa di Bab selanjutnya😉

***

Buhul || TAMATحيث تعيش القصص. اكتشف الآن