👹 Buhul || Bab 23

304 33 19
                                    

Santet


Selamat membaca


👹👹👹


***

Semua mata tertuju pada Jaka, apa yang baru saja lelaki berudeng itu katakan sungguh membuat mereka kaget. Arip yang berada di samping Jaka, lekas mencubit pinggangnya kencang.

Netra Arip tampak sungkan menatap Ambar serta yang lainnya. "Maaf semuanya, teman saya ini memang sok tahu."

"Saya tidak sok tahu, Rip. Melihat tingkah Mbak Rasmi yang seperti itu jelas kalau dia terkena sihir, guna-guna alias santet."

Setelah sempat berteriak kencang, Rasmi terdiam di atas ranjang. Kedua mata aswad yang selalu menatap dengan lembut itu terus melotot bahkan hampir seluruh bola matanya memutih.

Mereka cepat memindahkan ke kamar, hal itu demi meminimalisir warga tahu tentang penyakit Rasmi yang tidak lazim.

"Kamu tahu dari mana, Jak?" tanya Arip masih tidak percaya.

Pak Wisnu mengangguk setuju. "Ya, saya sependapat sama apa yang dikatakan Jaka. Dari ciri-ciri, Rasmi memang terkena santet, apalagi dahulu bapak kamu meninggal juga karena ini."

Jaka lekas menoleh ke arah Pak Wisnu, keningnya berkerut pertanda dirinya tidak paham. Begitupun suami dari Bu Ratna, dia mengangkat sebelah alisnya sembari bertanya, "Kamu tidak tahu?"

"Tidak."

"Oh, iya, saat itu Mbok Nem lagi bunting," sahut Pak Wisnu ketika sadar. "Aku masih sekolah dasar waktu itu, saat warga heboh dengan santet yang merenggut bapakmu."

Ambar masih sesenggukan, dia mengusap tangan Rasmi yang sangat dingin, sedangkan Bu Ratna tampak mengusap bahu Ambar sembari mencoba menenangkan.

"Tenang, Mbak. Rasmi pasti bisa sembuh, kita cari jalan keluarnya bersama-sama," kata Bu Ratna, kemudian menatap suaminya. "Piye, iki, Pak?"

"Jalan satu-satunya kita harus ke Pak Kiai."

Lagi, mereka menatap Jaka serentak, kemudian mengangguk bersama. Bagaimanapun juga, Rasmi lebih membutuhkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, masalahnya penyakit yang diderita wanita cantik itu buka medis.

"Begini saja. Sekarang saya akan ke rumah Mbah Karim, beliau pasti bisa membantu masalah ini," kata Jaka.

Ambar mengangguk, dia bangkit sejenak mendekati Jaka. "Terima kasih Nak Jaka, tolong bawa Mbah Karim cepat ke sini."

"Iya, Bude. Saya pamit dulu, ayo Rip."

Sekejap mata Jaka sudah berjalan sampai di halaman, begitu juga dengan Arip yang berusaha lari untuk membersamai langkah temannya itu. Seperti biasa, lelaki bertubuh tambun terus menggerutu karena tertinggal agak jauh.

"Jalanmu cepat sekali, sih, Jak. Kosek, to, enten!"

Jaka tidak menggubris apa yang Arip katakan, wajah lelaki itu tetap datar karena telinganya terus terngiang tentang apa yang Pak Wisnu ungkapkan.

Banyak pertanyaan yang malah membuat emosinya naik perlahan, bisa-bisanya sang ibu menyembunyikan hal ini pada dirinya.

Bagaimana juga, Jaka ingin tahu tentang almarhum sang bapak, selama ini dia hanya sekadar tahu nama. Sekarang lelaki itu paham kenapa Mbok Nem selalu bungkam, saat dirinya bertanya soal bapaknya yang bernama Susilo Yusuf.

"Jalan!" sentak Arip.

Seakan tersadar dengan kenyataan, Jaka lekas mengayuh sepeda. Suara khas yang dihaslikan hordok tersebut membersamai perjalanan mereka, tampak Jaka berusaha penuh di setiap kayuhannya. Betapa dia sedang memikul beban berat seakan hampir dua karung gabah dia bonceng.

"Aneh! Kalau jalan saja cepat, tetapi naik hordok  begini malah lambat," gerutu Arip.

"Ngomong, ae!"

👹BUHUL👹


Bu Ningsih membawa nampan berisi segelas kopi dan singkong goreng, melihat sang suami yang sibuk merakit sangkar burung lekas dia berceletuk, "Bapak tidak lelah apa, sejak pagi itu saja yang dielus-elus?"

"Ya, tidak dong, Bu, 'kan hobi," ungkap Pak Amin. "Kalau Bapak ke sungai dilarang, sekarang Bapak ada di rumah merakit kandang burung mau dilarang juga?"

"Bukan begitu, Pak. Maksud Ibu, Bapak ini tidak mencerminkan ketua RT."

Pak Amin berhenti sejenak, dia menatap istrinya yang sibuk meniup-niup sepotong singkong goreng. "Maksud Ibu, memangnya Bapak harus ngapain sebagai ketua RT?"

"Ya, ngapain gitu, pergi ke balai desa atau apa."

"Yang harus ke balai desa itu, ya, Pak Wo alias Pak Panji. Ngapain Bapak ke balai desa, numpang buat kandang burung, iya?" ungkap Pak Amin gereget, ke ufian kembali menekuni kegiatannya.

Bu Ningsih menghela napas pelan. "Kalau begitu, ajak saja warga cari kegiatan."

"Kegiatan apa? 'kan sudah setiap malam, jaga kampung, to. Nanti kalau kebanyakan kegiatan pada demo, tidak ada waktu luang buat sayang-sayangan."

Bu Ningsih tidak lagi menggubris perkataan sang suami, dia merasa penasaran ketika melihat Jaka dan Arip mengetuk rumah Mbah Karim.

Tidak lama kemudian, lelaki lanjut usia itu muncul dan terlibat percakapan yang sayup Bu Ningsih dengar.

"Jaka, Arip?" Sapa Mbah Karim. "Dungaren, onok opo?"

Jaka tersenyum tipis, dia lekas mengutarakan maksud kedatangannya. "Begini Mbah, apa Mbah Karim sibuk sekarang?"

"Ora, kok, baru saja selesai darus."

"Kalau begitu, Mbah Karim bisa ikut saya ke rumah Mbak Rasmi?" tanya Jaka.

Tampak kening kerisut Mbah Karim mengernyit, dia mengingat siapa yang baru saja Jaka sebutkan. "Rasmi, istrinya almarhum Dani?"

"Nggeh, Mbah."

"Ada apa memangnya dengan anak itu?" tanya Mbah Karim penasaran.

Arip yang merasa terlalu basa-basi lekas berkata, "Mbak Rasmi diguna-guna, Mbah. Sekarang orangnya kayak jaranan ndadi, matanya cuma putih tidak ada hitamnya."

Mendengar perkataan Arip, Bu Ningsih terkejut. Dia menutup mulutnya, begitupun Pak Amin yang lekas menghampiri mereka.

"Rasmi diguna-guna, ih, ngeri sekali!"

👹BUHUL👹








Seperti biasa, Buhul menemani pagi kalian. Jangan lupa berikan tanggapan, ya, teman-teman. Terima kasih🙏🏻

Buhul || TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang