👹 Buhul || Bab 28

342 30 29
                                    


Balasan Setimpal

Selamat membaca

👹👹👹

***

 
Waktu berlalu dengan cepat, gerimis yang mengguyur benar-benar sudah berhenti. Aroma senja kentara ketika sayup-sayup terdengar suara azan dari dusun tetangga.

Jaka, Mbah Karim, Pak Wisnu, Ruslan, Wandi serta Arip tampak berkumpul di teras rumah peninggalan Dani, sedangkan Pak Amin sejak tadi sudah membawa sang istri pulang.

Mereka mengerumuni dipan yang di atasnya tergeletak bungkusan kain kafan. Arip yang tidak sabar lekas berceletuk, “Kapan mulainya ini, menghancurkan buhulnya?”

“Sabar, to, menghancurkan benda ini tidak bisa semena-mena,” sahut Ruslan. “Iya ‘kan, Mbah?”

Mbah Karim mengangguk, sembari membaca basmallah dia membuka bungkusan kain kafan tersebut. Melihat isinya Arip benar-benar terkejut, begitu juga yang lainnya.

Di dalam bungkusan kain mori terdapat boneka pocong, kemenyan, daun siri, hati yang sudah membusuk serta belatung.

Semua benda tersebut terlihat sebagian hangus akibat terbakar. Aromanya busuk pun sangat menyengat.

“Astagfirullah, jadi begini isinya,” sahut Arip tidak menyangka.

Jaka mengerutkan kening, kemudian menatap Mbah Karim. “Kenapa semua benda ini seperti terbakar, Mbah.”

“Sebenarnya buhul ini sudah musnah melihat benda-benda di dalamnya terbakar, itu karena kita gencar membaca surat-surat pendek. Namun, agar lebih afdal kita butuh minyak tanah serta pemantik api.”

“Untuk apa, Mbah?” tanya Arip.

“Membakar buhul ini.”

Arip lagi-lagi masuk ke dalam rumah bermaksud untuk menemui ambar, tetapi dia berpapasan dengan wanita baya itu di ruang tamu. Ambar tidak sendiri, ada Rasmi serta Bu Ratna yang sepertinya ingin melihat apa yang mereka lakukan di luar.

“Eh, Bude. Itu, Mbah Karim meminta minyak tanah,” kata Arip.

“Bendanya sudah ditemukan, Rip?”

“Alhamdulillah, sudah," ungkap Arip. "Itu, lagi jadi tontonan yang lainnya."

Ambar lekas masuk ke dalam untuk mengambil cublik dan pemantik. Tidak butuh waktu lama dia kembali, lalu menyerahkan apa yang dibawa ke arah Mbah Karim.

Jaka meletakkan bungkusan tersebut ke ubin, kemudian menuangkan minyak tanah secukupnya. Cekatan, dia menyalakan pemantik dengan selembar kertas. Tidak butuh waktu lama buhul tersebut akhirnya terbakar.

Tanpa mereka tahu, terbakarnya buhul tersebut menjadi akhir dari hidup Panji. Petaka menerjangnya secara membabi-buta. Hal itu akibat dari perbuatan buruk yang dia lakukan kepada Rasmi maupun Dani.

Tampak lelaki gagah itu berlari di dapur untuk menghindari sesuatu. Teriakannya menggelegar, raut takut jelas dari wajahnya.

“Jangan!”

“Jangan ganggu aku!”

Panji bersembunyi di kolong meja, menutup kedua telinga sembari memejamkan mata. Sekuat tenaga dia menahan napas yang memburu, bermaksud agar sosok menyeramkan tersebut tidak menemukan keberadaannya. Sungguh, lelaki itu tidak menyangka apa yang dilakukan berbalik kepadanya.

Bunyi air yang mendidih memecah kesunyian, merasa suasana sudah lebih baik Panji lekas membuka mata kemudian menelisik sekitar.

Helaan napas terdengar lega ketika tidak ada lagi sosok menyeramkan yang mengejarnya tadi.

“Syukurlah makhluk itu telah menghilang.”

Lelaki itu perlahan merangkak keluar, kemudian duduk di kursi sembari mengusap peluh yang membanjiri wajahnya.

Namun, baru bernapas lega Panji mencium aroma busuk yang sangat menyengat. Bersama dengan itu, dia merasakan cairan lengket yang mengalir dari ubun-ubun nya menuju pelipis.

Sosok ringkih dengan rambut putih panjang tepat berada di belakang Panji. Mata kucingnya melotot setara dengan bibir menyeringai melihatkan gigi-gigi runcing yang hitam.

Kepalanya meneleng, gemeretak bunyi tulang sangat jelas dalam kesunyian. Lidahnya yang panjang menjilat dengan semangat, seolah Panji adalah santapan yang amat lezat.

Dengkusan dari sosok tersebut berganti tawa yang amat nyaring, Panji berusaha kabur hingga dirinya terjerembab dan menyenggol kompor yang masih menyala. Tentu saja hal tersebut menimbulkan api yang semakin lama, semakin membumbung.

“Ganti koe seng tak pangan!”
(Giliran kamu yang menjadi santapanku)

***

“Alhamdulillah, semuanya sudah selesai,” sahut Bu Ratna dengan senyuman.

Ambar lekas mengangguk, dia sangat lega ketika bahaya yang mengintai putrinya benar-benar berakhir.

Mereka semua sedang menyaksikan buhul lenyap terbakar, Rasmi segera memeluk Ambar dengan erat. Wanita cantik itu masih tampak pucat, dia kemudian menatap semua orang yang menolongnya lepas dari guna-guna.

“Terima kasih Mbah Karim dan bapak-bapak, kalian sudah membantu saya untuk lepas dari pengaruh jahat.”

“Sama-sama Mbak Rasmi, ini sudah kewajiban kami untuk saling membantu,” ungkap Arip.

Mbah Karim mengangguk, kemudian berkata, "Setelah ini, Mbak Rasmi bisa datang ke kiai untuk melakukan rukyah. Hal itu bisa membersihkan jasmani dan rohani dari hal-hal yang tidak baik."

"Iya, Mbah," jawab Ambar sembari mengusap bahu Rasmi dengan sayang.

Tidak lama setelah itu, tiba saja kentungan musala berbunyi keras. Hal itu membuat mereka bertanya-tanya, bahaya apa yang terjadi di dusun mereka. Namun, teriakan yang menyertai membuat mereka lagi-lagi terkejut.

“Rumah Pak Panji terbakar?!” sentak Arip.

Dengan segera mereka berbondong-bondong menuju rumah Panji, tampak api yang sangat besar melahap habis rumah tersebut. Warga telah berkumpul, mereka berusaha memadamkan api dengan air mengambil dari sumur Ridwan.

“Kenapa ini, Cak?” tanya Jaka.

Ridwan yang rumahnya bersebelahan dengan Panji lekas menjawab, “Aku yo ndak tahu, Jak. Dengar Pak Wo teriak, aku langsung keluar. Ternyata rumahnya sudah terbakar."

“Berarti Pak Panji masih di dalam?”

“koyok e ngunu,” jawab Pak Ridwan.
(Sepertinya begitu)

Mendengar itu Jaka lekas berlari. Dia ingin masuk ke dalam, tetapi dicegah oleh beberapa warga yang melihat.

Entah kenapa, Jaka ingin sekali menyelamatkan Panji. Meskipun perangai lelaki itu tidak baik, ada rasa sakit di hatinya ketika menyaksikan Panji terbakar hidup-hidup.

“Jaka!”

Lelaki berudeng itu menoleh, dia melihat ibunya mendekat kemudian memeluknya erat. Hal itu membuat Jaka merasa aneh, apa yang terjadi dengan ibunya? Kenapa wanita tua itu tampak sedih.

Mbok Nem menatap rumah Panji dengan wajah sendu, kedua netra tuanya berkaca-kaca.

“Ada apa, Bu?” sahut Jaka. Apa ada sesuatu yang tidak Jaka tahu?”

***
 

👹BUHUL👹

 
 






Hai teman-teman, bagaimana kabarnya. Semoga sehat, ya. Gak terasa puasa tinggal menghitung hari, udah dpt thr belum nih😁

Gak terasa juga cerita anehku ini akan segera berakhir, dari sini Panji dapet balesannya.

Kira-kira dia mati gak, ya?

Tunggu bab selanjutnya, oke😁

***

Buhul || TAMATDonde viven las historias. Descúbrelo ahora