👹 BUHUL || Bab 08

427 57 12
                                    


Gema Jantung Alquran.

👹👹👹

Selamat Membaca!

***


"Woy, Jak!"

Jaka yang berdiri di bawah pohon sawo tampak menoleh, dia lekas mendekati Arip yang memegang bendera kuning. "Apa?"

"Kok apa, to!" sahut Arip jengah. "Bantu aku memasang bendera, setelah itu kita menebang beberapa bambu seperti biasa."

Jaka dengan tenang mengikuti ajakan Arip, karena lelaki itu cukup tinggi. Tidak sulit memasang bendera tersebut.

Semilir angin membuat bendera berkibar, menyisakan hawa dingin yang menembus kulit tubuh. Jaka masih belum percaya jika Dani benar-benar telah tiada, hal itu membuatnya banyak melamun.

Keinginan Panji akhirnya terwujud, terlihat ketika lelaki itu memuji Jaka tadi. Napasnya terdengar berat. Dia sadar, patuh terhadap perintah Panji adalah dosa.

Ingatannya kembali saat bertemu dengan Rasmi. Kesedihan jelas di kedua mata wanita itu saat menodongnya dengan bertubi-tubi pertanyaan.

Entah kenapa, hati Jaka mendadak bersalah. Bagaimanapun juga kemarin dia benar-benar meyakinkan Rasmi agar menunggu Dani rumah. Kendati begitu, Jaka tidak tahu jika kejadiannya begini.

Namun, bukankah itu takdir. Maksudnya, di sini dia hanya menjalankan tugas sebagai tangan kanan kepala dusun Lawangan. Sebisa mungkin dia mengurusnya dengan caranya sendiri.

Tepukan di pundak terasa kencang, jantungnya berdebar menghasilkan gumpalan rasa jengkel yang lekas naik ke ubun-ubun. Jaka melihat Arip tergelak, sebenarnya tidak ada niatan untuk mengagetkan lelaki berudeng itu.

"Maaf, Jak, tidak bermaksud ngagetin," ujar Arip sembari menyerahkan golok.

Jaka menerima benda tajam itu dengan santai. Menyentuh sejenak untuk mengukur ketajaman golok tersebut, kemudian dia berkata, "Biasanya yang menebang bambu Cak Yanto, kenapa kamu menyuruh aku?"

"Cak Yanto mengambil penduso sama perlengkapan untuk mandi," jelas Arip. "Aku lihat kamu melamun, daripada kesambet lebih baik kamu saja yang tebang bambunya."

Jaka berjalan ke sisi timur rumah peninggalan Dani, diikuti Arip serta dua orang lainnya. Beruntung di sana tumbuh bambu apus yang memiliki banyak manfaat, biasanya warga sekitar akan menggunakan bambu tersebut untuk anyaman yang nantinya digunakan untuk bilik.

Selain itu bambu apus juga bisa untuk membuat amben, kandang hewan bahkan bisa digunakan menyangga genteng atau disebut reng, usuk serta gording.

Beberapa bambu akhirnya berhasil Jaka tebang, setelahnya mereka lekas membuat papan untuk menutupi jenazah.

Pembuatan papan dianjurkan, agar tubuh jenazah tidak langsung tertimbun tanah. Menurut ulama papan yang dibutuhkan berjumlah sembilan, itu mencontoh bahwa dahulu batu bata yang diletakkan di makam Rasulullah berjumlah sembilan.

Namun, jumlah papan sebenarnya tidak dianjurkan karena yang diwajibkan hanya membuat papan agar jenazah tidak langsung tertimbun oleh tanah.

"Jak, kamu merasa aneh tidak sama meninggalnya Dani?"

Jaka menyelesaikan pembuatan papan terakhir, dia menjadikan satu papan tersebut dengan yang lainnya. Mendengar Arip berkata seperti itu, jantungnya
berdebar beberapa kali. Lelaki itu berdeham sejenak, lekas melirik temannya sembari berkata, "Kamu jangan mulai, tidak baik membicarakan orang. Apalagi yang sudah meninggal."

"Selalu saja begitu, diajak musyawarah, kok, tidak mau," sahut Arip lirih.

Jaka tidak menanggapi Arip yang terlalu banyak bicara. Netranya melihat Pak Amin berada di sumur, agaknya beliau sedang menyiapkan tempat pemandian jenazah sendirian.

Lekas jaka bangkit mendekat ke arah Pak Amin. "Saya bantu Pak RT."

"Oalah, Mas Jaka, to," sahut Pak Amin. "Kebetulan kalau begitu, Mas Jaka bisa minta bantuan yang lainnya untuk menyiapkan pemandian. Saya mau ke makam, lihat apakah di sana sudah mulai menggali."

Jaka mengangguk, dia tersenyum sekilas. "Silakan, Pak. Biar ini saya selesaikan."

Setelah kepergian Pak Amin, Jaka dibantu Wandi lekas membentangkan kain hijau. Lantaran sudah terdapat tali di kain tersebut, membuat Jaka dengan mudah memasangnya.

Bunyi katrol terdengar ketika Wandi memainkan timba, tampak lelaki itu melihat ke dalam sumur kemudian menoleh ke arah Jaka. "Di sini pakai kran air apa tidak ya, Jak?"

"Sebenarnya kamu meninggalkan matamu di mana, Wan?" tanya Jaka agak kesal, dia masih sibuk merapatkan tali.

Setelah selesai, dia lekas menunjuk kran yang jelas menempel di tembok. "Itu kalau bukan kran, apa namanya? Air mancur punya kau!"

Wandi terkekeh pelan. "Iya, sori aku gak nguasne."

"Sora, sori ... kayak bisa bahasa Inggris, Wan, Wandi."

"Kui jenenge,wong jowo gaul!"

Arip datang membawa dua drum besar, di dalam drum tersebut sudah ada sabun cair serta sampo. Melihat itu Jaka segera bertanya, "Kamu tidak cari daun kelor, Rip?"

"Loh, ya. Lupa, kalau begitu aku cari dahulu."

"Biar aku saja," sahut Jaka lekas pergi dari area pemandian.


👹__BUHUL__👹

Para pelayat mulai berdatangan, ruang tamu yang awalnya sepi tampak penuh dengan para warga. Terlihat Ambar ditemani Mak Siti berdiri di samping pintu, mereka menyalami orang-orang yang datang melayat.

"Mohon maaf apabila Dani mempunyai salah, ibu-ibu."

"Iya, Bu Ambar. Saya saksinya, Mas Dani orang yang baik," kata salah satu pelayat, diangguki yang lain.

Banyak warga datang lebih memilih singgah, sekadar membantu mengurus keperluan juga membaca surat Yasin bersama Rasmi yang ditemani Mbak Marni.

Mereka melantunkan surat yang menjadi jantung Alquran secara khusyuk dan serentak membuat suara yang dihasilkan terdengar di seluruh penjuru rumah.

Netra Aswad Rasmi terus menatap tubuh Dani yang terbujur di depannya, jarit bermotif Kawung menghalangi wanita itu untuk menatap wajah sang suami. Kenapa takdir begitu kejam pada mereka yang baru saja merasakan indahnya berumah tangga.

Usapan di kepala, pujian serta bentuk kasih sayang yang Dani berikan pada Rasmi masih terasa jelas. Canda tawa singkat yang mereka lakukan, turut terngiang di telinga serta ingatannya.

Sekali lagi air matanya keluar, tangisannya lirih di antara lantunan ayat suci. Mbak Marni tahu jika Rasmi sedang mengungkapkan kekesalan serta kesedihan yang dirasakan. Dalam lirikan dia melihat kedua bahu itu bergetar, membuatnya lekas menggenggam tangan yang saling bertautan.

"Tenangkan dirimu, Ras. Kamu harus sabar," kata Mbak Marni menenangkan.

Rasmi mengangguk, menarik napas pelan untuk menghilangkan rasa sesak yang ada di dadanya. "Aku berusaha Mbak, tetapi ini benar-benar tidak mudah.

"Iya, Mbak tahu. Bagaimanapun juga kamu harus berusaha, semoga Dani diterima Allah." Mbak Marni membantu mengusap air mata Rasmi, dia tersenyum sekilas untuk menenangkan wanita itu.

Rasmi memerhatikan warga yang berbaik hati datang untuk mendoakan Dani, dia bersyukur tidak lagi mendengar sesuatu yang tidak-tidak mengenai kematian sang suami.

Aroma pandan bercampur bunga kenanga menguar ke seluruh ruangan. Di ruang tengah, Mbak Dewi serta yang lainnya sedang meronce. Aroma tersebut membuat kedua mata Rasmi terpejam, badannya meremang menambah kenyataan akan kematian sangat suami.

👹__BUHUL__👹









Jangan lupa, tinggalkan jejak.

Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now