👹 Buhul || Bab 21

320 33 19
                                    

Seringai di Balik Kemudi


Selamat membaca

👹👹👹

***

Mbok Nem mengerjapkan mata, tawa anak-anak di sebelah rumah membuatnya terbangun. Terangnya langit tampak dari genting kaca yang terpasang di atap kamarnya, wanita tua itu tidak sadar jika hari telah berganti pagi.

Sepelan mungkin dia beranjak dari dipan berkasur kupu tarung, kaki keriput yang menyembulkan otot-otot itu lekas memakai sandal.

Lapar terasa menekan perutnya, membuat Mbok Nem meninggalkan kamar segera. Tidak perlu menuju dapur, di meja kecil ruang tengah sudah tergolek sebuntel makanan seperti biasanya.

Nasi kuning serta lauk kesukaan tampak menggugah selera, hingga segaris senyum tulus menghiasi wajah Mbok Nem. Hatinya terenyuh kala Jaka selalau peduli. Meskipun, acapkali dia kesal dan tidak menghiraukan putranya tersebut.

👹BUHUL👹

Jaka asyik melamun di teras rumah, jelas terlihat kala mengacuhkan puntung yang terselip diantara jemarinya. Suara sapaan pun tidak sampai telinga, membuat mereka beranggapan beban hidup lelaki itu sangat berat.

Padahal dia sedang memikirkan kejadian semalam, apakah itu juga bisa disebut beban hidup?

Sulit dipercaya jika apa yang dikatakan Arip benar adanya, sepulang dari memangkas rambut dia berencana ke pos kamling bersama Eko.

Namun, tiba tidak jauh dari rumah Rasmi. Netranya melihat sosok berkuncir di halaman. Hanya dirinya yang melihat bahkan ketika bertanya kepada Eko--lelaki yang baru saja lulus SMA itu tidak melihat apa pun.

Sosok tersebut tampak melompat lebar, kemudian menghilang di balik pohon sawo. Hal itu membuat Jaka tersentak. Lekas dia menyuruh Eko pergi lebih dahulu, sedangkan dirinya mendekat untuk memastikan.

Tiba di sekitar pohon sawo, sosok tersebut menghilang, menyisakan bau bangkai yang cukup menyengat. Penerangan dari lampu teras tidak menjangkau area tersebut, hal itu membuat Jaka lekas menyorotkan senternya ke sana dan sekitarnya.

Dia berpikir aroma bangkai muncul dari tikus mati, tetapi setelah mencari di sela-sela tanaman. Dia tidak menemukan apa pun, hal itu membuat praduga tentang aroma bangkai berasal dari sosok tadi.

***

Jaka menghela napas tegas, dia bangkit setelah menghabiskan secangkir kopi. Puntung pun dia campakkan begitu saja di asbak kayu. Lekas dia masuk ke dalam rumah untuk meletakkan gelas, tetapi tiba di sana dia melihat Mbok Nem tampil berbeda.

Rambut ibunya yang biasa acak-acakan sekarang tergelung, begitu juga dengan baju kebaya yang dikenakan tampak rapi. Tanpa lelaki itu sadari senyum tersemat di wajahnya, melihat Mbok Nem terlihat baik dia merasa lega.

Jaka juga heran dengan kelakuan aneh Mbok Nem, di depan semua orang wanita tua itu terlihat tidak waras. Namun, berbeda ketika di rumah. Beberapa kali Jaka bertanya mengenai maksud ibunya, hanya keterdiaman yang dia dapatkan.

Kali ini lelaki berudeng itu mengikis jarak dengan Mbok Nem, dia ingin kembali melayangkan tanya kepada wanita tua itu. Jaka yakin ika sang ibu tahu sesuatu, tentang meninggalnya Dani.

"Bu."

Mbok Nem berdiri di balik jendela, dia menatap anak-anak yang bermain kelereng. Mendengar putranya memanggil, lekas dia menoleh ke belakang.

Raut wajah Jaka membuat dia tahu apa yang sedang putranya pikirkan, bagaimanapun juga dia harus menceritakan apa yang dia lihat malam sebelum Dani meninggal.

"Kamu sudah melakukan hal yang benar, Le," kata Mbok Nem. "Itu memang sudah takdirnya Dani."

"Ibu benar tahu sesuatu?"

Mbok Nem mengangguk, dia berjalan mendekati Jaka dan menceritakan semua kejadian secara jelas.

👹BUHUL👹

Rasmi menyibak kelambu kamar, dia melihat Ambar yang sibuk membuat camilan. Senyum terukir di wajahnya yang pucat, kemudian berjalan pelan mendekati ibunya.

Aroma ubi yang digoreng menguar di penciuman Rasmi, dia menduduki dipan saat merasa kakinya bergetar.

Entah kenapa, semakin hari tubuhnya semakin lemah bahkan untuk bergerak pun seakan  direbukkan. Rasmi tidak berani meringis, kesakitan itu dia telan dengan paksa agar Ambar tidak tahu. Bagaimanapun juga dia tidak ingin membuat ibunya khawatir.

"Nduk," panggil Ambar, dia menuangkan ubi goreng ke baskom. "Sudah matang ini ubi gorengnya, kita makan di teras, yuk."

Rasmi mengangguk, lekas dia berdiri dibantu Ambar untuk sampai teras. Jam menunjukkan pukul 9 lebih 50 menit, tetapi matahari agaknya lebih memilih bersembunyi.

Suasana seperti ini memang enak dinikmati dengan ubi goreng dan teh hangat, mereka tampak santai menikmati sembari berbincang-bincang.

"Bagaimana, apa badanmu sudah lebih baik?" tanya Ambar.

Rasmi menatap ibunya sembari mengangguk mantap, dengan susah payah dia menelan ubi tersebut. Miris sekali, sungguh tenggorokannya amat sakit bahkan hanya untuk menenggak air teh.

"Ibu tidak perlu khawatir," kata Rasmi. "Rasmi baik-baik saja."

"Ibu jelas khawatir Nduk, bagaimanapun juga Ibu melihat keadaan kamu semakin lemah. Wajahmu pucat sekali," ungkap Ambar sembari mengusap kepala Rasmi.

Wanita itu meraih tangan Ambar, dia menggenggam tangan ibunya dengan erat. Senyum menenangkan diperlihatkan agar ibunya percaya dirinya baik-baik saja.

Namun, mendadak rasa sakit muncul kembali. Jantungnya berdebar kala merasakan perutnya seakan diaduk dengan benda tajam.

Ambar sadar dengan perubahan raut wajah sang putri, ditambah genggaman tangan yang semakin erat membuat Ambar panik. "Kamu kenapa, Nduk?"

Rasmi meringis, tubuhnya bergetar hingga tangisannya pecah secepat tangannya yang meremas perut.

Mitsubishi L300 tampak lewat depan rumah peninggalan Dani, di balik kemudi Panji menatap mereka yang bersimpuh di teras.

Senyum seringai muncul kala tahu apa yang terjadi dengan sang pujaan hati. Inilah yang diinginkan, kesakitan yang menggerogoti tubuh Rasmi secara perlahan.

"Itulah akibatnya kamu menolak diriku, Dinda."


👹BUHUL👹












Maaf, ya, kalau membosankan😅
Seperti biasa, jangan lupa berikan tanggapan kalian, ya. Terima kasih🙏🏻

Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now