👹BUHUL || Bab 12

383 56 13
                                    

Mitsubishi L300

👹👹👹

Selamat membaca

***

Angin semilir menerpa kerudung Rasmi ketika wanita itu membuka pintu rumah. Langit masih tampak gelap, lampu jalan juga belum dimatikan oleh Pak Amin padahal azan Subuh telah berlalu.

Seperti hari biasanya, dia memulai hari ini dengan mengambil sapu lidi. Namun, panggilan dari Ambar membuat langkahnya terhenti.

"Iya, Bu?"

Ambar menggunakan kerudung instannya, kemudian berjalan mendekati Rasmi yang sudah ada di teras. "Kamu sudah baikan?"

"Sudah, Bu. Tidak perlu khawatir," jawab Rasmi.

"Semalam badan kamu panas, jelas kalau itu akibat kelelahan. Maka dari itu, kamu istirahat saja biar Ibu yang beres-beres rumah."

Ambar mengambil alih sapu yang Rasmi bawa, wanita tua itu menyentuh kening putrinya bermaksud mengukur suhu tubuh Rasmi. "Tuh, masih hangat. Istirahat saja, buat tidur lagi."

"Tidak mau, Rasmi baik-baik saja, Bu."

"Nurut sama Ibu, istirahat sekarang supaya nanti bisa membantu menyiapkan jamuan," kata Ambar paksa. "Ibu yakin, nanti kamu pasti ikut sibuk di dapur."

Rasmi menghela napas pelan, dia menelisik wajah ibunya. Setelah itu netra aswadnya turun menuju cincin yang masih bertahan di jari manis tangan kanan. "Tidak terasa ya, Bu. Nanti malam sudah hari ketujuh."

"Iya, Nduk. Tidak terasa sudah seminggu Dani meninggalkan kita, apa dia tidak berpesan apa pun sama kamu?"

Rasmi mengangguk. "Mas Dani berpesan agar aku istikamah berkerudung."

👹BUHUL👹


Desau angin menerpa dedaunan cabai yang tumbuh di ladang, milik siapa lagi jika bukan Panji. Di dusun Lawangan hanya lelaki itu saja yang kaya.

Selain ladang cabai yang luas, lelaki yang tampak berwibawa itu juga mempunyai kebun tebu yang selalu menjadi pemasok pabrik gula di kota.

Hari ini waktunya untuk memanen cabai, kemarin Panji dan Jaka melihat jika tingkat kematangan sudah pas.

Tidak seperti biasanya, khusus hari ini Jaka berangkat lebih pagi. Matahari belum menampakkan hakikatnya, hawa dingin terasa menusuk tulang tidak membuat lelaki itu menghalau niatnya.

Langkah demi langkah dia lalui, sampai akhirnya kedua kaki itu berdiri tidak jauh dari pohon asem yang tumbuh di sana.

Kedua netra tajamnya menelisik seluruh tempat yang mana dia menemani Dani menyantap bubur miliknya.

Ya, bubur miliknya. Jaka tidak sekejam itu melaksanakan perintah Panji, seburuknya dia masih mempunyai hati nurani. Lelaki itu ingat sekali, bagaimana lahapnya Dani memakan bubur tersebut sembari berbincang santai dengan dirinya.

Kala itu Dani sempat mengatakan sesuatu kepada Jaka, soal jalan hidupannya. Suami dari Rasmi bercerita jika dirinya bukanlah anak kandung Ustaz Abdullah.

Hal itu membuat Jaka teringat sesuatu. Dahulu saat masih sekolah dasar, dia beserta Arip, Wandi dan kawan lainnya mengaji di Musala Baiturrahim dengan Ustaz Abdullah sebagai guru mengaji.

Saat itu pun, agaknya Ustaz Abdullah sudah cukup tua. Jaka juga ingat, sering bermain bersama Dani. Namun, tidak untuk bersama Panji. Lelaki itu tidak ingat pernah bergaul bersama pituwo dusun Lawangan.

"Mas Jaka tidak makan, to?"

Jaka menggeleng. "Kebetulan saya sempat makan di warung."

"Enak Mas Jaka, ini buburnya Mbak Dewi, 'kan?" tanya Dani sembari menyantap bubur tersebut.

"Iya, Ustaz."

"Jangan panggil seperti itu, ustaz yang sebenarnya itu Bapak saya, Mas Jaka. Saya hanya anak pungut, "ungkap Dani sembari mengulas senyum. "Kenapa ya, Mas Jaka. Hari ini saya merasa gelisah, tetapi juga ada setitik bahagia di hati saya."

"Jaka."

Ingatan tentang Dani buyar ketika suara seseorang muncul, lekas lelaki itu menoleh ke belakang. Tampak Wandi, Arip, Ruslan serta beberapa orang lainnya datang dengan baju kebanggaan masing-masing.

"Duh, jadi bos kok datang duluan. Kalau aku jadi bosnya, sih, nanti kalau matahari sudah di atas ubun-ubun," gurau Arip sembari berjalan ke arah Jaka.

Wandi mencabut cabai, kemudian melempar ke arah Arip sembari mengatakan, "Orang lagi semangat jangan dihalangi, Rip!"

"Wey, cabai mahal jangan dibuang-buang!"

Jaka menghela napas pelan, dia menarik lengan Arip agar menyingkir dari sisinya yang mana letak jasad Dani ditemukan.

"Apa, sih?!" sentak Arip terpaksa pindah tempat. Sekejap lelaki itu terkejut karena sadar di mana dirinya sekarang. "Waduh, ini 'kan tempat terakhir kali jasad Mas Dani ditemukan."

"Loh, iya. Di bawah pohon asem," sahut Ruslan.

Mereka saling menatap, menerka sesuatu yang bisa saja terjadi. Arip lekas pindah ke samping Wandi sembari mengatakan, "Biasanya tempat yang mana di situ pernah dibuat orang meninggal, pasti angker."

"Ngomong apa, sih, Rip."

"Tidak ada siaran ulang, Wan!" jelas Arip jengkel.

Mendengar pembicaraan yang tidak-tidak dari mereka, Jaka lekas menyuruh agar memulai bekerja. Langit juga sudah terang, panasnya langsung mengenai kulit membuat hawa dingin perlahan menghilang.

Mereka mengikuti perintah atasan dan segera mengambil peralatan masing-masing, Arip yang masih terhubung dengan pembicaraan tadi lekas berceletuk, "Kok, sama Mbak Rasmi tidak diberi taburan bunga, ya."

"Maksudmu apa, Rip?" tanya Ruslan.

"Lah, biasanya di tempat kejadian akan diberi taburan bunga agar tidak ada kejadian yang terulang."

Jaka yang jengkel langsung melempar sandal yang dia kenakan ke arah Arip. "Itu sama saja khurafat atau takhayul, sesuatu yang dibuat-buat hukumnya batil. Rasulullah tidak melakukan hal itu, apalagi niatnya seperti yang ada di pikiranmu, Rip."

"Tuh, dengar Ustaz Jaka bersuara," ejek Arip.

Jaka melirik Wandi dengan datar, tawa lelaki itu memang memekakkan telinga. Mendapat tatapan seperti itu, dia lekas menyibukkan diri sembari menahan senyum.

***

Deru Mitsubishi L300 terdengar berhenti di sisi timur rumah Panji, lelaki itu turun dari sana sembari menatap para pekerjanya yang sibuk memikul berkarung-karung cabai.

Jaka yang melihat Panji datang lekas mendekat, lelaki berudeng itu memberitahu hasil panen cabai yang cukup baik dari kemarin. Biasanya cabai dapat dipanen 12 sampai 20 kali sampai tanaman berumur tujuh bulan. Namun, bagaimanapun hasil panen, tergantung dari perawatan yang dilakukan.

"Menurut kamu apa Rasmi mau menerima diriku, Jaka?"

Jaka mengerutkan kening, antara menghalau panas yang terik juga mendengar pertanyaan Panji. "Maksud Bapak apa?"

Lelaki bertopi koboi itu hanya tersenyum menatap Jaka, dia menepuk pundak lelaki itu beberapa kali sebelum menyuruh agar mengantar karung-karung cabai ke pelanggan setianya.

👹BUHUL👹
















Ternyata Jaka memberi Ustaz Dani buburnya, lantas kenapa suami Rasmi bisa meninggal?

Kalian bisa menebak, gak?

Jangan lupa jejaknya, kawan.

Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now