👹 Buhul || Bab 18

346 44 28
                                    

Cerita dari Arip

Selamat membaca

👹👹👹

***

"Suer, aku tidak bohong," sahut Arip.

Ruslan sejenak menatap Wandi yang duduk di sampingnya, lelaki itu kurang percaya dengan cerita Arip.

Dia tahu bagaimana perangai lelaki bertubuh tambun itu saat sudah dipercaya, pada akhirnya cerita yang tampak nyata hanya gurauan semata.

"Halah, aku tidak percaya dengan ceritamu," kata Ruslan, "iya 'kan, Wan?"

Wandi mengangguk setuju, dia dengan santai menyantap kerupuk membuat suara keriuknya terdengar cukup berisik. "Heem, kamu itu kebiasaan. Kalau sudah dipercaya pada akhirnya, tapi bohong."

"Iya, sih, tetapi ini serius wey. Aku tidak berbohong, kejadiannya ada di depan mata," sahut Arip sembari menunjuk kedua matanya.

"Kalian ini membicarakan soal Rasmi, istri dari almarhum ustaz Dani. Apa tidak malu?"

Mak Siti mengeluarkan suaranya, wanita baya itu berada di balik pembatas warung sembari mengaduk kopi pesanan mereka. Mendengar cerita Arip tentang keanehan di rumah peninggalan Dani membuatnya tidak percaya.

"Bagaimanapun juga, rumah yang Rasmi tempati adalah rumah peninggalan Dani, lelaki itu rajin mengaji. Tentu saja rumahnya bebas dari gangguan," jelas Mak Siti lagi.

Dia muncul dengan membawa nampan, kemudian meletakkan satu per satu kopi dengan kepulan asap di depan mereka bertiga.

"Kalian kenapa tidak percaya sama aku!" sentak Arip, "apa mau aku panggilkan Jaka, semalam aku keliling dusun sama lelaki kaku itu. Dengar kalian, waktu geledek berbunyi sangat keras?"

Tak!

Ruslan meletakkan gelas di meja kayu, baru saja lelaki itu menuangkan kopi ke atas lapik agar panasnya sedikit menghilang.

Setelahnya dia menatap Arip sembari mengangguk, semalam memang suara guruh terdengar keras. Kendati begitu, bisa membuat mereka yang berkumpul di pos ronda sangat terkejut.

"Iya, dengar. Waktu itu, aku sama Pak Wisnu, Pak Amin asyik bermain kartu. Tidak lama Rudi datang sama ini orang," jawab Ruslan menunjuk Wandi.

"Nah, saat itulah teriakan Mbak Rasmi terdengar."

👹BUHUL👹

Malam itu setelah suara guruh menggelegar, Arip serta Jaka mendengar suara teriakan seorang wanita. Lelaki tambun itu sebenarnya takut, tetapi setelah Jaka mengatakan jika yang berteriak berasal dari rumah almarhum Dani. Dia pun yakin suara itu milik Rasmi, si janda baru di dusun Lawangan.

Siapa lagi yang berteriak jika bukan wanita itu karena setelah meninggalnya Dani, Rasmi hidup sendirian.

Maka dari itu, dia mengikuti Jaka datang ke rumah tersebut yang hanya beberapa langkah dari tempat mereka sempat berhenti.

Sampai di sana, rumah itu terlihat gelap. Padahal di dusun tidak sedang mati lampu. Membawa serta keberanian yang terisi penuh, Arip mengikuti Jaka dengan langkah lebar.

Hawa dingin malam itu terasa lebih dingin ketika memasuki halaman, tetapi lama kelamaan hawa tersebut memunculkan efek panas yang tidak nyaman.

Ketukan di daun pintu tidak membuat sang pemilik rumah cepat-cepat membukanya bahkan ketika panggilan ikut dilayangkan pun hasilnya nihil.

Pada akhirnya Arip mengikuti ajakan Jaka untuk mendobrak pintu, tidak ada pilihan lain. Takutnya terjadi sesuatu yang membahayakan nyawa.

Dalam tiga kali sentakan bertenaga, pintu dengan ukiran unik itu terbuka bersama dentuman keras akibat membentur tembok.

Sembari mengusap bahunya yang terasa kebas, Arip masuk ke dalam rumah. Aroma bangkai samar merasuk hidung, ketika sampai di ruang tengah. Sorot senter memperlihatkan Rasmi yang tergeletak dengan cublik tumpah ruah.

Jaka berusaha membangunkan wanita itu dengan menciptakan air, sedangkan Arip sendiri masih sempat menelisik sekitar ruangan yang membuat kuduknya berdiri.

Hingga tidak lama kemudian, Rasmi tersadar. Jaka bisa melihat raut ketakutan di wajah ayu janda tersebut. Pertanyaan yang diajukan pun hanya terjawab dengan kata baik-baik saja.

Berbeda dengan Arip, lelaki itu tidak serta-merta mendengar percakapan antara Rasmi dan Jaka. Dia fokus ke arah luar jendela samping dipan. Dalam kilatan petir yang samar, dirinya bisa melihat sosok yang sempat dia jadikan gurauan.

👹BUHUL👹

"Aku lihat pocongnya Mas Dani, sosok tersebut berdiri di luar jendela dapur rumah Mbak Rasmi."

"Jangan mengarang, kamu Rip!" sentak Mak Siti yang ikut mendengar cerita Arip.

Ruslan mengangguk setuju, lelaki berkumis itu menatap Arip fokus sembari berkata, "Iya, kamu jangan asal bicara, tetapi apa iya pocong itu benar Mas Dani?"

"Mataku bilang itu Mas Dani, meskipun rumah Mbak Rasmi waktu itu gelap, tetapi aku yakin kalau itu arwah suaminya," jelas Arip lirih.

"Terus, apa yang kamu lakukan setelah itu, Rip?" tanya Wandi.

Arip menghela napas kesal, dia menggebrak meja membuat kopi miliknya yang masih penuh tampak bergoyang. "Hem, Arip kok dilawan. Ya, larilah aku setelahnya, kemudian duduk di serambi musala menunggu Jaka menyalakan sekring listrik."

"Aku, kok, malah kagetnya pas kamu lari, Rip," ungkap Mak Siti.

"Lah, kenapa Mak?!"

Mak Siti menatap Arip menelisik, tidak lama kemudian wanita baya itu berceletuk, "Sama-sama demit kenapa takut."

Tanpa mereka tahu, Bu Ningsih yang ada di depan warung Mak Siti mendengar semua yang diceritakan oleh Arip.

Dia amat terkejut mendengar jika arwah Dani bergentayangan, dia bergidik berniat pergi dari sana.

Gelak tawa masih terdengar sampai di luar, Bu Ningsih yang berbalik langsung menubruk lengan Jaka yang akan masuk ke warung.

Istri dari Pak Amin itu memekik kesakitan, dia menyentuh pundaknya sembari menatap Jaka tajam.

"Oalah, Jaka. Kalau jalan itu lihat depan!" sentak Bu Ningsih, tidak lama kemudian dia berlalu pergi dari sana.

Lelaki berudeng itu menatap Bu Ningsih heran, dia merasa tidak bersalah, tetapi terkena amukan. Begitupun semua yang ada di warung, mereka juga menyaksikan marahnya Bu Ningsih kepada Jaka.

"Lah, ngapain Ningsih di situ?" tanya Mak Siti sembari menatap Jaka.

Jaka menggeleng, dia masuk ke dalam warung untuk memesan kopi pahit. Di sana juga lelaki itu langsung diinterogasi oleh teman-temannya soal apa yang dialami Arip.



👹BUHUL👹


Pembaca yang baik hati, cantik dan ganteng. Jangan lupa untuk meninggalkan jejak kalian, terima kasih🙏🏻

Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now