👹 Buhul || Bab 26

303 32 20
                                    

Kesurupan


Selamat membaca


👹👹👹

***

Bu Ningsih sejak tadi tampak mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, melihat Pak Amin ikut ke rumah Rasmi membuat dirinya tidak tenang. Bukan maksud khawatir akan kesetiaan yang sang suami, tetapi lebih ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Sifat ingin tahu yang tinggi akan sesuatu membuat Bu Ningsih dijuluki sebagai bakul gosip. Dia berpikir jika keadaan Rasmi sekarang bisa dijadikan bahan perbincangan terhangat.

Tadi Bu Ningsih sempat merasa senang, ketika tahu Pak Amin ikut rombongan ke rumah Rasmi. Namun, saat tahu sang suami tidak mengizinkan dirinya ikut membuat wanita bergincu merah itu kesal.

Semua rencananya menjadi gagal hanya karena larangan Pak Amin, apalagi hujan sangat deras membuat dia tidak bisa menyusul.

Hampir dua jam, Bu Ningsih terus menunggu kedatangan suaminya. Dia ingin bertanya bagaimana jalan cerita di sana, tetapi ketika melihat hujan yang sudah terang hanya menyisakan gerimis membuat Bu Ningsih tersenyum senang.

Lekas dia masuk ke dalam, mengetuk pintu kamar putranya sembari memanggil putranya, "Bayu."

"Apa, Bu!"

"Ibu mau menyusul Bapakmu," pamit Bu Ningsih.

"Heem."

Bibirnya mencebik saat mendengar gumaman Bayu, dia amat heran dengan kelakuan sang putra yang sangat tertutup. Tidak ingin berlama-lama, segera Bu Ningsih mengambil payung yang tersimpan di dekat rak sandal. Sembari menyingsing dasternya, wanita baya itu menuju rumah peninggalan Dani.

Beberapa bagian jalan dusun serta halaman rumah warga tampak tergenang air, semilir angin membuat Bu Ningsih menggigil pelan. Dia menggerutu sembari melihat langit yang masih kelabu, mendung tampak nyaman memeluk cakrawala. Dapat dipastikan jika gerimis saat ini tidak menjamin akan berakhirnya hujan hari ini.

Tidak butuh waktu lama wanita baya itu sampai di rumah Rasmi, dia menatap rumah tersebut yang sepi seperti tidak berpenghuni. Keningnya berkerut ketika memijakkan kakinya di halaman, langkah yang tadinya tergesa-gesa perlahan berhenti di dekat pohon sawo.

"Kok sepi," gumamnya. "ke mana rombongan Jaka membawa suamiku serta Mbah Karim?"

Duar!

“Eh, jangkrik!”

Suara seperti bohlam meletus terdengar di pohon sawo, hal itu membuat Bu Ningsih terkejut. Jantungnya berdetak cepat juga badannya bergetar hebat, kedua netranya menatap nyalang ke sana.

Sekejap mata perasaan wanita baya itu pias, wajah ketakutannya mendadak sirna bahkan payung yang sempat dibawa terlepas begitu saja.

Langkah serentak datang dari dalam rumah Rasmi, mendengar ledakan di depan membuat beberapa orang keluar. Termasuk Pak Amin, dia sempat kaget melihat sang istri hujan-hujanan di tengah halaman.

Ruslan, Wandi, Arip serta Pak Amin masih belum sadar akan keadaan Bu Ningsih yang berdiri kaku dengan tangan bersedekap.

"Bu!" panggil Pak Amin. "Ibu lagi apa di situ? Sini, to, neduh!"

Pak Amin mengernyitkan kening ketika tidak ada jawaban dari istrinya, dia mengambil payung yang bersandar di tembok kemudian berjalan mendekat.

"Bu."

Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Bu Ningsih, rambut serta bajunya sudah basah membuat Pak Amin segera menyentuh pundak istrinya, bermaksud untuk mengajak pulang.

Namun, tiba-tiba Bu Ningsih bereaksi, dia menelengkan kepalanya ke kanan, kemudian badannya bergerak maju mundur secara perlahan.

Hal itu jelas di mata Pak Amin, dia terkejut untuk menyadari jika istrinya sedang dalam pengaruh iblis.

Netra Bu Ningsih tampak menatap tajam, bibirnya menyeringai dengan gemeletuk gigi yang membuat Pak Amin ngilu mendengarnya.

"Bocah kui nggonanku¹!"

"Astagfirullah!"sentak Pak Amin, dia menyentuh bahu istrinya kuat. "Arip! Cepat panggil Mbah Karim.”

Tergopoh-gopoh Arip masuk ke dalam rumah, dia berteriak memanggil Mbah Karim. Sampai di dalam kamar ternyata Rasmi telah sadar, wanita cantik itu terlihat lemas. Wajahnya pucat dengan kerudung serta baju yang basah oleh keringat.

Bu Ratna yang kesal karena Arip membuat gaduh, lekas berceletuk, "Kamu itu kenapa, sudah ketemu bendanya?"

Arip mengatur napasnya yang menggebu, dia mengibaskan tangan mengartikan bahwa bukan itu yang menjadi masalah saat ini.

"Ada apa memangnya, Rip?" Ambar bertanya.

"Itu," kata Arip sembari menunjuk asal. "Bu Rete kesurupan!"

"Seng bener, Rip!" sentak Bu Ratna menatap Arip kaget, kemudian menjawil Ambar yang membantu Rasmi minum.

"Sak estu², saya ndak bohong!"

Segera Mbah Karim keluar bersama Arip untuk melihat keadaan di depan. Bu Ratna tampak meremas-remas tangannya, dia gelisah dengan kejadian hari ini yang menurutnya sangat tidak masuk akal.

Wanita baya itu sebenarnya penasaran dengan Bu Ningsih yang kesurupan, tetapi ketakutannya akan hal itu membuat dia memaksa untuk tetap di kamar.

"Bu Ningsih kesurupan, Bu," kata Rasmi.

Ambar mengangguk sembari meletakkan gelas berisi teh hangat. "Sudah jangan dipikirkan, Nduk. Kamu harus terus membaca surat-surat pendek."

Rasmi menuruti apa kata ibunya, dalam hati dia terus melafazkan surat yang disuruh Mbah Karim baca sebanyak mungkin. Hal itu bertujuan untuk memutuskan tali penghubung dengan guna-guna tersebut.

Hati Ambar begitu lega ketika putrinya selamat, melihat keadaan Rasmi sebelumnya sempat membuat wanita itu putus asa. Dia mengulas senyum sembari mengusap kepala sang putri, tetapi dalam sekejap wajah ambar kembali murung.

"Kenapa, Bu?"

Ambar menghela napas pelan, bukan maksud dia berburuk sangka. Namun, kejadian ini mengingatkan dia tentang seseorang yang berkuasa. Siapa lagi jika bukan Panji, jarak waktu antara musibah ini bisa dibilang cukup dekat.

"Ibu sebenarnya tidak mau suuzon," kata Ambar.

Bu Ratna menatap Ambar dengan kening berkerut, kemudian dia bertanya, "Maksudnya, Mbak tahu siapa dalang yang mengguna-guna Rasmi?"

"Ini hanya dugaan saja," kata Ambar. "Dua Minggu setelah meninggalnya Dani, Pak Panji datang."

"Ngapain, Mbak?"

"Dia melamar Rasmi," jelas Ambar.

Bu Ratna benar-benar terkejut, tampak jelas dengan mulut serta matanya yang terbuka. Wanita baya itu mengalihkan pandangannya ke arah Rasmi, dia sepertinya tidak percaya akan cerita Ambar.

Oleh karena itu, Bu Ratna memastikan sesuatu dengan bertanya langsung kepada Rasmi. "Benar itu Ras?"

"Enggeh, Bu Na," jawab Rasmi sembari mengangguk.

"Astagfirullah, kamu ‘kan masih dalam masa idah. Masa Pak Panji tidak memahami itu," kata Bu Ratna menggebu. "Lalu, apa jawaban kamu?"

Ambar menelisik Bu Ratna, kemudian berceletuk, "Ya, jelas Rasmi menolak."

👹BUHUL👹












Catatan kaki:
1. Anak itu milikku
2. Beneran, saya tidak bohong

Gak terasa beberapa bab lagi bakal tamat, nih.

Jangan lupa beri tanggapan kalian, ya.

Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now