👹 Buhul || Bab 27

306 30 19
                                    


Buhul

Selamat Membaca

👹👹👹

***

 
“Akhh!” pekik Bu Ningsih ketika Mbah Karim mendekat.

Mbah Karim terus membaca ayat-ayat Al-Qur'an, dia tampak santai menghadapi istri Pak Amin yang sedang kerasukan bahkan ketika jin kafir yang menguasai tubuh Bu Ningsih terus melawan.

“Aku ora wedi!” sentak Bu Ningsih.
(Aku tidak takut)

Mbah Karim menatap netra tajam Bu Ningsih, bermaksud untuk mengunci pergerakan jin tersebut. Ayat kursi terus dilafalkan, kala tiba saatnya beliau langsung menyentuh tepat di ubun-ubun.

Teriakan terdengar memekakkan telinga. Dalam cekalan Pak Amin serta Jaka, Bu Ningsih terus memberontak. Sesekali wanita baya itu meludahi Mbah Karim karena jin yang menguasai tubuhnya merasa terancam.

“Aku emoh metu!”  sentak Bu Ningsih.
(Aku tidak mau keluar)

Mereka tampak kualahan, baju tampak basah kuyup karena gerimis tidak kunjung reda. Ditambah lagi dengan air yang menggenangi halaman, lantaran istri Pak Amin menggelepar-gelepar di tanah.

“Di mana buhul itu ditanam!?” tanya Mbah Karim.

“Akh, panas, loro!” sentak Bu Ningsih, tidak lama kemudian dia menunjuk ke satu tempat.

Mereka semua mengikuti telunjuk Bu Ningsih yang mengarah ke sumur. Jaka kemudian menoleh ke arah Mbah Karim, lelaki berudeng itu tidak berhenti membaca surat-surat pendek sejak tadi.

Kendati begitu, Jaka tidak lekas percaya jika buhul benar di sana. Sedari tadi dia melihat keanehan di bawah pohon sawo, sedikit tanah di bawahnya tampak kering bahkan saat hujan deras mengguyur.

Arip yang penasaran lekas berjalan cepat ke arah sumur, begitu juga Wandi dan Ruslan. Mereka menelisik sekitar sana dengan teliti, tidak tertinggal juga kamar mandi bahkan Ruslan mencari di tanah. Mungkin saja buhul diletakkan di sana.

Cukup lama mencari, mereka tidak menemukan apa pun. Namun, tiba-tiba Bu Ningsih tertawa girang, dia menatap Mbah Karim dengan raut bahagia.

“Tak apusi!”
(Saya bohongi)

Semua menatap Bu Ningsih geram, terutama Arip. Lelaki tambun itu berlari mendekat sembari menyahut, “O ... semprul!”

“Akh, loro!” pekik Bu Ningsih.

“Keluarlah dari tubuhnya jika kamu tidak ingin kesakitan!” sentak Mbah Karim.

Tidak lama kemudian, tubuh Bu Ningsih tampak bergetar. Dadanya terangkat dengan tangan mengencang serta kedua netra membelalak putih.

Arip bergidik ngeri, untuk pertama kalinya dia menyaksikan hal seperti ini. Dia sigap bersembunyi di balik punggung Wandi yang juga fokus menyaksikan.

“Alhamdulillah,” gumam Mbah Karim setelah berhasil mengeluarkan jin kafir yang menguasai tubuh Bu Ningsih.

Tampak wanita baya itu sangat lemas, dia mengerjapkan matanya sembari menatap sekitar. Pertama yang dia dengar adalah suara sang suami yang terus menanyakan keadaannya, ingin sekali dia menjawab. Namun, perutnya seakan diaduk-aduk, kemudian menyeruak memaksa keluar.

Setelah mereda, wanita baya itu baru menyadari bahwa semua orang yang dicari ada di sekitar mereka. Napasnya memburu, badannya juga sangat sakit. Bu Ningsih memaksa menoleh ke samping yang mana Pak Amin menatapnya khawatir.

“Ibu tidak apa-apa?”

“Bapak ke mana saja, Ibu cari Bapak tadi,” kata Bu Ningsih serak.

Mbah Karim lekas menyuruh Pak Amin agar membawa Bu Ningsih masuk ke rumah, sedangkan dirinya lebih penasaran ke arah pohon sawo di depannya itu.

Sampai di sana, netra tuanya menelisik tanah tepat di bawah pohon tersebut.

“Apa buhulnya ada di situ, Mbah?

“Iya,” jawab Mbah Karim. “Coba digali.”

Jaka mengangguk, dia pamit untuk meminjam gathul kepada Ambar. Setelah mendapatkannya dia dibantu Arip, Wandi serta Ruslan untuk menggali tanah tersebut.

Tidak butuh waktu lama, tampak bungkusan kain kafan lusuh yang segera Jaka ambil.

“Apa itu?”

“Buhul,” jawab Jaka sembari menatap Arip.

Pak Wisnu mengernyitkan kening, dia lekas berceletuk, “Kalian ingat, ketika saya bercerita tentang istri saya yang melihat penampakan orang berjongkok di bawah pohon sawo?”

“Oh, iya. Aku ingat, apa jangan-jangan itu bukan penampakan, melainkan orang yang menanam benda ini,” kata Arip sembari menunjuk buhul yang masih berada di tangan Jaka.

“Bisa jadi,” sahut Pak Wisnu. “Masalahnya, siapa yang tega melakukan hal itu?”

Mereka yang ada di sana hanya saling menatap.

Dalam surat Al-falah ayat empat menjelaskan tentang, memohon perlindungan kepada Allah agar terhindar dari kejahatan tukang sihir yang mengembuskan buhul-buhul, dari orang yang dengki apabila dia dengki.

Lantas Buhul sendiri artinya tali penghubung atau ikatan yang menghubungkan antara benda sihir dengan target.

Sihir itu berupa; jimat, tumbal boneka dan sebagainya.

Kala dukun menggunakan boneka sebagai media, kemudian memantrai serta mengembuskan ke boneka tersebut. Jin akan masuk ke dalam tubuh target, kemudian menanamkan kabel penghubung di bagian otak, jika kabel telah sempurna terpasang maka dukun bisa menyiksa target pada bagian tubuh yang dikehendaki, seperti menusuk jarum ke perut maka target akan kesakitan dan itulah yang dirasakan Rasmi.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan dengan buhul ini, Mbah?” tanya Arip.

Jaka bangkit, dia lekas menyerahkan bungkusan tersebut kepada Mbah karim. Dia kemudian menatap Arip sembari berkata, “Buhul itu media perantara, ibaratkan ini meteran listrik. Untuk membuat lampu mati seutuhnya, kita harus menekan tombol pada meteran tersebut. Maka untuk menghilangkan guna-guna dalam diri Mbak Rasmi, kita harus menghancurkan buhul ini. Iya, ‘kan, Mbah?”

“Betul,” sahut Mbah Karim.

Arip terpaku menatap Jaka, lelaki tambun itu lekas bertepuk tangan beberapa kali karena takjub dengan pengetahuan lelaki berudeng itu.

“Kamu ini waktu SD, SMP sering bolos bahkan tidur di kelas, tetapi anehnya, kok, apa-apa kamu selalu tahu, Jak!”

“Jaka dilawan,” sahut Wandi terkekeh pelan.

***











Maaf, ya, updetnya lama. Beberapa bab lagi bakal tamat, jangan sampai ketinggalan, ya.

Buhul || TAMATWhere stories live. Discover now