Chapter 48 - Kejadian

10.5K 766 43
                                    

🎶 My Heaven – Big Bang

***

Melati tengah tertidur setelah beberapa jam bergelut dengan kenyataan yang menimpanya. Kelopak mata gadis itu bengkak dan hidungnya memerah. Wajahnya kusut dan dia tidak peduli akan hal itu. Sedari tadi mama mertuanya tidak kuasa menahan sakit di hatinya sambil mengelus dan memeluk menantunya itu. Febby juga melakukan hal yang sama.

"Ai?" Sayup-sayup terdengar suara Batara memanggil istrinya.

"Ai?" lirih Melati saat terbangun dari tidurnya. Dia melihat sekitarnya, mama mertuanya nampak baru saja tertidur. Dia mengedarkan pandangannya lalu mengingat kejadian beberapa jam yang lalu.

Senja sore itu membuat Melati sangat semangat untuk memasak dan menunggu suaminya pulang dari kerjanya. Sudah menjadi kebiasaan baru baginya setelah selesai memasak makan malam lalu mandi, setelahnya dia akan duduk di teras untuk menunggu kedatangan suaminya. Setelah mandi Melati bergegas ke depan. Tidak lupa membawa benda pipih itu di tangannya.

Sambil minum teh hangat, dia setia menunggu suaminya dengan wajah cerah seperti biasa. Biasanya suaminya akan datang tiga puluh menit setelah dia duduk di teras. Tapi, sampai sekarang suaminya belum juga datang. Dia mulai gelisah. Dia men cek handphone-nya. Dia mencoba menelepon beberapa kali tapi satu pun tidak dijawab oleh Batara. Perasaannya benar-benar tidak enak, jantungnya berdetak keras dan membuat gadis itu harus mengembuskan napasnya beberapa kali. Lidahnya tiba-tiba kelu.

Dia melihat ada mobil berhenti di depan gerbangnya. Dengan cepat dia berlari menuju gerbang. Melati heran ada beberapa orang berpakaian dinas negara turun dari mobil ber plat merah itu.

"Selamat sore, Bu."

"I, iya sore, Pak? Ada apa ya, Pak?" sapa Melati sambil bertanya kepada polisi yang sedang berdiri di depan gadis itu. Perasaannya mulai tidak tenang.

"Dengan Nyonya Mahanipuna istri bapak Batara?"

"Iya saya sendiri?"

"Begini Bu. Suami ibu mengalami kecelakaan saat ingin menyeberang jalan tadi pukul lima lewat sepuluh, sekarang korban sedang berada di rumah sakit."

"A, apa? Kecelakaan?" Melati menggeleng menolak semua ini. Air matanya tanpa diundang keluar sangat deras. Kakinya goyah seketika. "Nggak, Pak. Nggak mungkin... nggak...." Melati meraung keras saat mendengarnya. Hampir saja dia terjatuh, beruntung polisi itu membantu Melati untuk menahan keseimbangannya.

Sesaat kemudian, Joshua dan Irwansa datang dengan mobil mereka. Mereka sama halnya dengan Melati sangat terkejut saat mendengar kabar buruk itu. Joshua bergegas mengajak Melati masuk ke dalam mobil dan langsung menuju rumah sakit. Di dalam mobil gadis itu tidak henti-hentinya menangis. "Kak, suami aku gimana? Polisi itu pasti bohong, i... iya kan?" Nafas gadis itu tercekat dan suaranya hampir habis.

"Kita berdoa ya, semoga Batara tidak kenapa-kenapa," jelas Joshua.

Sakit hati yang dirasakannya begitu kuat sampai-sampai gadis itu memukul-mukul dadanya. Tidak menyangka hal ini akan terjadi. "A, Ai... aku datang," gumamnya dengan air mata yang masih saja mengalir deras.

Setelah sampai di rumah sakit. Gadis itu langsung saja berlari keluar dari mobil. "Ai!!" teriaknya keras tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Joshua dan Irwansa kewalahan mengejar gadis itu. "Mel! Melati!" panggil Irwansa. Joshua bertanya pada suster yang berjaga hari ini.

"Pasien sedang melakukan pemeriksaan dan mungkin sebentar lagi akan menjalankan operasi, Pak," jelas suster itu. Dengan cepat Joshua mengejar Melati dan Irwansa. Joshua dan Irwansa tidak tega melihat Melati yang meronta-ronta yang melihat suaminya berlumuran darah di dalam sana. Berbaring seperti orang yang tidak memiliki nyawa.

"Ai!!!" raung Melati sampai suaranya kehabisan.

"Mel! Kamu tenangin diri kamu, Batara bakal baik-baik aja," ucap Joshua mencoba menenangkan sementara Irwansa sibuk dengan benda pipihnya mengabari keluarga besar Batara.

"Gimana Melati bisa tenang, Kak. Suami aku kayak gitu di dalam sana. Kak, bilangin ke dokternya aku mau masuk. Kak, aku mau ketemu sama Batara." Melati terduduk tidak tahu harus melakukan apa-apa.

Saat pintu terbuka, dia berlari menerobos masuk ke dalam. Dia tidak peduli panggilan Joshua dan Irwansa. Dokter terkejut karena kedatangan Melati. Melati berteriak keras saat melihat wajah Batara yang dihiasi oleh darah kentalnya. Dia mendekat dan perlahan menyentuh wajah yang hampir dingin itu.

"Nggak, Ai... Ai, ayo bangun! Kita pulang. Bangun, ayo... aku udah masak masakan kesukaan kamu, aku maksa! Ayo, Ai..." Melati tidak tahan melihat kondisi suaminya. Celana dan bajunya robek. Wajahnya yang membiru dan darah dimana-mana. Membuat Melati yang memeluknya ikut terkena darah kental segar itu. Mata Batara tertutup rapat dan bibirnya menghitam.

"Ai, jangan bercanda kayak gini. Aku nggak suka, Ai..." Melati masih saja memeluk dan mencium kening suaminya. Berharap suaminya membuka matanya.

"Maaf, Bu. Ibu harus keluar, kami harus melakukan pemeriksaan," ujar dokter itu. Melati menggeleng.

"Nggak dok, aku mau di sini."

Melati lagi-lagi meraung keras sambil memeluk suaminya erat. Membuat bajunya ikut memerah. Dia menggenggam tangan Batara yang sudah mulai dingin. Menciumnya beberapa kali. Joshua dan Irwansa menarik paksa Melati keluar dari sana. "Lepasin, Kak. Kasihan suami aku sendiri di sana. Ai..." Melati meronta-ronta.

"Mel! Lo harus bisa bersikap dewasa, Batara lagi diperiksa sama dokter, dia nggak akan kenapa-kenapa, percaya sama kami," jelas Joshua. Jujur saja kedua sahabat Batara itu sama halnya dengan Melati. Imannya sedikit goyah. Tanpa sepengetahuan Melati mereka berdua menghapus air matanya diam-diam.

"Kak, gimana kalau suami aku..." Melati tidak dapat melanjutkan perkataannya.

"Nggak! Batara baik-baik aja!" potong Irwansa.

Dua jam setelah kejadian, dokter dan perawat belum juga selesai dengan Batara. Mama Batara yang datang langsung saja menangis. Di perjalanan Sandy selalu menguatkan hati mamanya. Meski dia juga takut akan keselamatan kakaknya itu. Febby, dia juga tidak henti-hentinya menangis. Winata, dia tidak menangis. Tapi, dalam hatinya terasa sangat sesak mendengar kabar itu.

"Mah," lirih Melati saat Mama mertuanya berlari dan langsung memeluknya.

"Sayang," ucap Lena dengan berbisik.

"Mah, suami aku, suami aku ..."

"Sssttt... Batara nggak papa sayang. Dia pria kuat," jelas Lena. Lena juga terpukul. Dia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Bagi seorang ibu, dialah yang paling sakit. Putranya berbaring lemah di sana. Febby memeluk kakak iparnya itu guna untuk menenangkan.

"Kakak yang sabar ya, kak Batara orang yang kuat," jelas Febby memenangkan.

"Kamu manggil aku ya, Ai?" kata Melati menyentuh wajah Batara. Dia sedang bermimpi tadi. Batara sudah selesai melakukan operasi setengah jam yang lalu. Dia sangat bersyukur karena operasinya berjalan lancar. Meski Batara masih belum sadar dari komanya.

"Ai... aku cinta sama kamu, kamu pasti kuat kan? Iya kan?"

"Aku capek, Ai. Nangis terus, kamu nggak kasihan lihat aku?"

"Suami gantengnya aku bangun, ayo..." Lagi dan lagi air mata itu keluar tanpa diundang. Dia sudah lelah menangis sampai beberapa jam lamanya. Membuat kepala gadis itu berdenyut sakit. Dia menidurkan kepalanya menindih tangan suaminya yang dia genggam tadi.

"Ai, bangun. Aku janji nggak akan cengeng sama minta hal yang aneh-aneh sama kamu."

Gadis itu terduduk lalu mengelus wajah suaminya. Dia tidak tega melihat kondisi suaminya yang begitu kacau dan memprihatinkan.

"Nak, papa mau ngomong sama kamu," ucap Winata.

***

Pelukan Saat Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang