delapan belas

36.9K 2.7K 37
                                    

Mata yang terasa berat itu terbuka pelan karena merasa terganggu dengan suara monitor khas rumah sakit.

Buram.

Dengan lemah, mata itu berkedip beberapa kali, berusaha memperjelas pandangannya.

Mulutnya terasa dibekap sesuatu, namun pernafasannya terasa lebih ringan.

Ah, ia mengenakan masker oksigen.

Matanya bergerak memindai sekitarnya.

Ia berada di rumah sakit.

Kepalanya ia tolehkan meski terasa sedikit kaku.

"Eh, Kayla?"

Ia mengerjap mendengar namanya dipanggil. Nama aslinya yang sudah seminggu lebih tidak ia dengar.

Sosok perempuan berdiri dan mendekat dengan cepat. Raut wajah khawatir bercampur bahagia itu tercetak jelas.

Itu, Mamanya.

Bukan, itu bukan Renata, Mama Hanna.

Melainkan, Naula. Mama dari Kayla Ayu Dewi.

"Ma?" suaranya tidak keluar meski ia berusaha bersuara.

"Astaga, Sayang. Akhirnya kamu sadar," Naula berkaca-kaca terharu melihat anaknya yang tidak sadarkan diri hampir dua hari akhirnya sadar.

Setelah kalimat itu terucap, suara langkah kaki mendekat terdengar.

"Dek?"

Kayla melirik sosok yang kini berdiri di samping Mamanya. Itu, Bagas–kakaknya.

"Apa yang kamu rasain? Pusing? Mual? Sesek?" pertanyaan bertubi itu keluar dari mulut Bagas.

"Kak, kamu panggil Papa kamu dulu sana. Tadi katanya duduk di depan!" Naula mendorong lengan putranya sedikit.

Bagas mengangguk, kemudian melangkah ke arah pintu dan membukanya. Tubuh tinggi kurusnya tidak sepenuhnya keluar, hanya menyembulkan kepalanya sedikit dan terdengar suara dari mulutnya yang entah apa.

"Ada yang sakit, Kayla?" Naula menatap khawatir anaknya. Sedang Kayla yang sedari tadi memperhatikan sekitarnya, kini memfokuskan pandangannya pada Mamanya.

"Mama panggilin dokter, ya?"

Kayla diam, tidak bersuara juga tidak menggerakkan kepalanya sebagai jawaban.

Yang ada malah tangan yang terpasang selang infus itu terangkat. Memegang wajah Mamanya yang menatapnya khawatir.

Sudut bibirnya terangkat.

Ia rindu wajah ini.

Wajah Mamanya yang selama ini lebih sering terlihat marah dan kesal dibanding khawatirnya.

Jika disuruh memilih, ia akan lebih memilih melihat wajah marah dan kesalnya wanita kepala empat itu dibanding wajah khawatir yang membuat hatinya ikut sakit.

Kayla ingat, terakhir kali yang ia alami sebagai Hanna adalah terkena bola voli dan membuat kepalanya bocor teratuk cor-coran sebelum akhirnya kejang.

Jujur saja, saat kejang kesadarannya telah di ambang batas. Namun rasanya benar-benar menyakitkan. Lebih sakit dibanding rasa kepalanya yang bocor.

Mungkin penyebabkan karena rasa sakit saat kejang ia rasakan di sekujur tubuh.

Entah bagaimana nasib tubuh Hanna sekarang, ia tidak peduli.

Karena bagaimanapun, baginya hidup sebagai Kayla adalah hidupnya yang sebenarnya.

Persetan dengan tubuh Hanna yang nasibnya kritis atau bahkan mati. Itu benar-benar tidak ia pikirkan, karena ia sibuk bersyukur bisa kembali ke tubuh Kayla dan melihat wajah Mama, Papa serta Bagas.

HannaWhere stories live. Discover now