dua puluh delapan

23.4K 2.1K 112
                                    

Regan segera melepas helm-nya dan melangkah masuk ke dalam rumah.

Emosi yang berusaha ia redamkan terus dipancing sedari tadi.

Bagaimana tidak jika semua lampu lalu lintas yang ia lewati selalu berganti warna menjadi merah beberapa detik ketika ia hampir saja melewatinya.

Jika saja jalanan tidak ramai, mungkin ia bisa menerobosnya. Sayangnya, keadaan tidak mendukungnya.

Mau tidak mau, ia harus menunggu lampu merah itu berganti hijau yang tentunya cukup lama.

Sosok Adelio dan Hanna yang sebelumnya ia lihat berboncengan itu tak nampak lagi.

Karena itu, kaki panjangnya melangkah cepat menaiki tangga menuju kamar Hanna.

Brak!

"Pulang sama siapa lo?" kalimat bernada tidak santai langsung terdengar begitu pintu putih kamar Hanna terbuka.

Gadis pemilik kamar yang tengah duduk di ranjang dan memainkan ponselnya mendongak menatap Regan sekilas sebelum kembali fokus pada benda pipih itu.

Tidak mendapat jawaban, cowok itu melangkah cepat mendekat ke arah Hanna dan merebut ponselnya.

Hanna yang juga masih kesal karena dibuat menunggu cowok itu mengantarkan pujaan hatinya pulang terlebih dahulu hingga hampir satu jam semakin kesal atas perlakuannya.

"Balikin!" minta Hanna dengan tegas sembari menengadahkan sebelah tangannya.

"Jawab pertanyaan gue!" Regan menunduk menatap Hanna tajam. "Lo pulang sama siapa?"

Hanna menghela nafas sembari membuang muka.

"Balikin hape gue!" Hanna bersuara tapi seolah tak ingin menjawab pertanyaan sosok di depannya.

"JAWAB, HANNA!" Regan menatap Hanna semakin tajam dengan nafas yang memburu.

Kesabarannya telah habis.

"Sama Pak Tejo, puas?" jawab Hanna tidak ikhlas. "Sini, balikin!" lanjutnya dengan nada ketus.

"Gak usah bohong. Lo pulang sama siapa?" Regan mengerutkan keningnya dalam.

"Sama Pak Tejo. Budek kuping lo?" Hanna berdiri, mengambil alih ponselnya dari tangan Regan dan berjalan menjauh.

Regan menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Berusaha menahan gejolak amarah dalam dirinya yang minta dilampiaskan.

Cowok itu segera mengikuti langkah Hanna, menarik tangan gadis itu cepat dan mendorong tubuh kecil itu ke arah meja belajar.

Hanna yang tidak siap atas pergerakan tiba-tiba itu baru sadar posisinya telah berubah menjadi setengah duduk di meja belajarnya dengan Regan yang hanya berjarak beberapa senti di depannya.

Gadis itu baru akan berontak, tapi harus mengurungkan niatnya ketika tangan besar Regan mencengkram erat dagunya.

Ekspresi kaku dan keras Regan menunjukkan seberapa marah dia.

Kenapa cowok ini harus marah?

Bukankah harusnya di sini ia yang marah?

Dia yang harus menunggu hampir satu jam hanya karena cowok ini mengantarkan cewek lain.

"Gue udah bilang buat gak bohong," Regan bersuara rendah dengan rahang yang mengeras. "Gue tanya sekali lagi, lo pulang sama siapa tadi?"

Hanna menelan ludahnya, ekspresinya dibuat sedatar mungkin untuk menutupi perasaan takutnya.

"Sama Adelio," jawab Hanna pada akhirnya dengan nada enteng. Seolah jawabannya bukan masalah besar.

Regan melepaskan cengkramannya pada dagu Hanna, beralih menumpukan kedua tangannya pada meja belajar di kiri kanan tubuh Hanna.

HannaWhere stories live. Discover now