dua puluh tiga

29.2K 2.5K 58
                                    

Regan melangkah memasuki rumahnya dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya. 

Cowok itu baru saja pulang dari sekolah. Jika beberapa hari terakhir ia akan langsung menuju rumah sakit untuk menemani Hanna, kali ini berbeda.

Ia memilih untuk pulang dulu ke rumahnya, untuk berganti baju dan mengecek sesuatu yang mengganjal di benaknya.

Langkah pelan tapi pasti cowok itu membawanya naik ke lantai tiga, bukan masuk ke kamarnya, Regan memilih untuk masuk ke kamar Hanna.

Meja belajar Hanna menjadi tujuan utamanya. Tangan besar itu membuka satu persatu laci yang ada di sana, baik laci meja belajar maupun nakas yang memang terletak di sebelah meja belajar tersebut.

Gerakan tangannya berhenti saat matanya menatap satu objek yang dicari-carinya. Kertas persegi panjang kecil berwarna putih dengan garis abstrak emas.

Tangan kirinya mengambil kertas tersebut, sedang tangan kanannya merogoh sakunya dan mengeluarkan kertas yang mirip dari sana.

Helaan nafas terdengar jelas di sela-sela Regan memperhatikan kedua kertas di tangannya.

"Pantesan familiar," gumam cowok itu setelah menemukan kebenaran sesuatu yang sedari dua hari ini mengganggu pikirannya.

Kepala cowok itu terangkat, menatap pigura ukuran 12x15 yang berisikan foto Hanna yang tersenyum manis ketika purna SMP.

"Lo sehancur itu sejak kapan, Han?" Regan bergumam lirih, matanya memanas membayangkan Hanna yang berbadan sekecil dan serapuh itu harus menghadapi segalanya sendirian.

••••

"Ngapain liat-liat?" Hanna menatap sinis ke arah Regan yang sedari datang sudah menatapnya lekat.

Ia risih.

Apalagi kini hanya menyisakan mereka berdua di ruangan itu. Chika yang memang selalu menjaganya ketika Regan sekolah tadi langsung pamit begitu anaknya datang. Katanya ada meeting dengan partner bisnis Bima, yang mengharuskannya ikut.

Chika memang menjadi sekretaris pribadi Bima, namun Bima tak hanya memiliki satu sekretaris, melainkan ia punya tiga sekretaris sekaligus.

Chika punya kuasa paling tinggi di antara ketiga sekretaris Bima, tapi pekerjaannya paling sedikit. Perempuan berumur akhir tiga puluhan itu hanya bertugas menemani Bima meeting dan dinas ke luar kota maupun negri.

Tentu saja, itu semua akal-akal Bima yang ingin terus bersama sang istri namun tetap tak ingin istrinya itu memiliki pekerjaan terlalu banyak yang pada akhirnya malah membuat orang tercintanya kelelahan atau bahkan jatuh sakit.

Dengan berat hati, Hanna membiarkan perempuan dengan sejuta kasih sayang itu pergi meski hatinya terasa tidak ikhlas.

Ia tidak ingin hanya berduaan dengan Regan. Apalagi mengingat kejadian terakhir dimana Regan mempergokinya hampir bunuh diri.

Jujur saja, ia malu.

"Gue merhatiin muka lo yang pucet itu," Hanna mengerutkan keningnya kesal mendengar perkataan Regan. Memangnya harus ya mengomentari penampilannya saat ini? Ia kan memang masih sakit, wajar jika pucat.

"Yaudah sih, namanya juga orang lagi sa-"

"Kok bisa ya lo tetep cantik padahal pucet kek mayat idup?" omelan Hanna tertelan kembali ke tenggorokan mendengar kalimat Regan yang memotongnya.

Bibir gadis itu mengerut, berkedut seolah ingin membukanya dan kembali mengomel tapi tertahan sesuatu.

"Je-jelas! Dasarnya emang gue cantik, mau diapain juga tetep cantik!" balas Hanna ketus sembari membuang muka, tidak ingin melihat wajah Regan.

HannaWhere stories live. Discover now