dua puluh tujuh

22.3K 2K 167
                                    

Hanna menghela nafas lelah.

Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri melihat kendaraan yang berlalu lalang.

Kini ia berada di halte dekat sekolah, menunggu Regan yang tadi entah pergi kemana dengan teman-temannya membolos 2 jam mata pelajaran terakhir.

"Kenapa gue nungguin dia ya?" gumam Hanna yang bingung dengan situasinya sendiri.

Maksudnya, ia bisa saja sedari jam pulang langsung menghubungi Pak Tejo untuk meminta jemput daripada menunggu Regan seperti ini.

Selain itu, ia juga tidak ada mendapat atau mengirimkan pesan pada Regan yang membicarakan mengenai dijemput, menjemput, menunggu, dan minta ditunggu.

Hanya kalimat kemarin yang mengatakan bahwa ia harus bersama Regan terus yang membuatnya menyimpulkan bahwa ia harus berangkat dan pulang bersama Regan.

Sekali lagi, Hanna menghela nafas sebelum mengambil ponselnya yang berada di saku.

"Hanna?"

Suara asing yang memanggilnya itu menghentikan gerakan lincah jemari lentiknya di layar ponsel.

Kepalanya mendongak guna menatap sosok yang memanggilnya.

Tampan.

Sosok cowok tampan dengan kulit putih, alis tebal serta hidung mancung menjadi yang pertama dilihat Hanna.

Wajah ini tampak asing dan juga familiar secara bersamaan. Ia jadi berpikir, apakah sebelumnya mereka pernah bertemu?

"Siapa ya?" tanya Hanna seramah mungkin.

Sosok yang tengah berdiri itu tersenyum, menambah kadar ketampanannya.

"Gue Cakra, gak inget ya?" jawab sosok itu sembari mendudukkan tubuhnya di sebelah Hanna.

Kening Hanna berkerut, ia juga sedikit mengambil jarak agar tidak duduk terlalu dekat dengan cowok itu.

Mendengar jawaban dari cowok itu, sepertinya mereka pernah bertemu. Apakah mereka bertemu saat Hanna masih diisi oleh Hanna asli?

"Wajar sih lupa, waktu itu kita ketemu di club. Lo udah mabuk keliatannya," cowok bernama Cakra itu tertawa pelan di akhir kalimat.

Ekspresi wajah Hanna yang semula tampak cukup santai tiba-tiba berubah menjadi tegang.

Club?

Sebuah ingatan dimana ia bertabrakan dengan sosok cowok di club sekitar sepuluh hari lalu terlintas begitu saja.

"Kenapa? Belum dijemput?" suara Cakra mengalihkan Hanna dari kegiatan melamunnya.

"Hah? Enggak kok," jawab Hanna sekenanya.

"Enggak gimana?" Cakra mengerutkan keningnya penasaran. "Terus Regan dimana? Kok lo sendirian?"

"Masih ambil motor," Hanna tertawa pelan agar tidak canggung.

"Lama ya ambil motornya? Sampe sekolahnya hampir sepi kayak gini," sahut Cakra sembari meneliti keadaan di gerbang sekolah.

Hanna yang mendengar kalimat itu hanya tersenyum sebagai tanggapannya.

"Gimana kalo gue anter pulang aja?" Hanna sontak menoleh menatap Cakra dengan raut terkejut.

"Oh, enggak usah. Gapapa, kok!" Hanna menggeleng sembari melambaikan tangannya menolak.

"Udah ayo, sama gue aja. Daripada lama nungguin cowok lo," Cakra mulai berdiri sembari menatap Hanna dengan senyuman ramah.

"Nggak usah," Hanna kembali menggeleng. Matanya ia alihkan ke arah gerbang sekolah sekilas, kemudian menatap Cakra lagi.

HannaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang