dua puluh satu

30.3K 2.5K 69
                                    

Hanna menatap nanar pisau buah yang ada di atas nakas.

"Kamu pengen makan apel, Sayang?" Chika yang menyadari Hanna sedari tadi menatap ke arah nakas menyimpulkan bahwa gadis itu mungkin saja ingin makan buah.

Mendengar suara Chika, Hanna menoleh kemudian menggeleng pelan dengan senyum tipis.

"Enggak, Bunda,"

"Kalo iya, gapapa. Bunda kupasin," tawar Chika lagi, takut jika gadis di depannya itu menolak karena takut merepotkan.

"Hanna lebih pengen jus, Bunda. Bunda mau beliin?" Hanna menatap tidak enak ke arah Chika. Mendengar itu, Chika tersenyum dan mengangguk.

"Bunda minta ke suster aja, ya?" Chika berusaha menego untuk meminta dibuatkan rumah sakit dibanding membeli.

Pasien yang menempati ruang VVIP memang diberi kebebasan untuk memilih menu makan dan juga minuman.

Hanna menggeleng pelan dengan raut muka sedih.

"Gak mau, Bunda. Jus rumah sakit gak enak. Hanna pengennya yang beli," Hanna menatap memelas ke arah Chika.

Perempuan akhir tiga puluhan itu tampak menimang, bingung harus bagaimana.

Jika ia pergi keluar membeli, Hanna tidak ada yang menjaga. Putranya sedang sekolah, sedangkan suaminya sedang bekerja.

"Nanti biar dibeliin Regan sambil ke sini aja, ya? Kalo Bunda yang beli, kamu sendirian, Sayang," Chika mengelus rambut pelipis Hanna sayang, kemudian menyelipkan anakan rambut ke belakang telinga gadis itu.

"Yahh," Hanna mendesah kecewa. "Hanna pengennya sekarang, Bunda. Regan kan masih sekolah, pulangnya nanti. Bunda gak mau beliin?" Hanna semakin menunjukkan wajah memelasnya.

"Bunda mau kok. Tapi nanti kamu sendirian, gak ada yang jaga. Gapapa?" Hanna mengangguk antusias.

"Gapapa kok, Bunda. Di sini kan gak ada apa-apa. Hanna aman," Chika tersenyum menanggapinya.

"Yaudah, Bunda keluar dulu, ya? Beli jus. Kamu mau jus apa?"

"Jus stroberi," Chika mengangguk paham.

"Oke, tunggu sebentar, ya?"

Chika berdiri, melangkah keluar kamar setelah mengambil dompetnya yang terletak di atas nakas.

Seluruh pergerakan Chika ditatap lekat oleh Hanna.

"Maaf, Bunda. Hanna ngerepotin," gumamnya lirih dengan nada sarat akan rasa bersalah.

Tatapan Hanna kembali pada pisau buah yang ada di atas nakas. Dengan ragu, tangan gadis itu terulur meraihnya.

Digenggamnya erat pisau itu di tangan kanannya. Hanna menarik nafas dalam, menahannya sebentar sebelum kemudian menghembuskannya pelan.

Tangan kirinya ia bawa ke depan, ditatapnya lekat-lekat pergelangan tangan bagian dalamnya yang terlihat jelas gurat-gurat hijau dan biru di sana.

Meski ragu, ia mengarahkan pisau buah itu ke arah nadi pergelangan tangannya.

Bibirnya ia gigit, rasa takut menghantuinya.

Tapi keinginan kembali pada tubuhnya sendiri dan bertemu Mama, Papa, serta Kakaknya membuat tekadnya kembali.

Sret!

Ditekannya pisau tumpul itu di sana, digeseknya perlahan hingga keluar darah dari luka robekan yang belum terlalu dalam

Brak!

"HANNA!"

Tatapan gadis itu yang semula lekat pada pergelangan tangan kini beralih ke sosok yang baru saja masuk dan berteriak.

HannaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt